Menyelaraskan Perkataan dan Perbuatan

Oleh : Yohandi, S.Sos.I

Mari kita coba memahami dakwah sebagai keseluruhan aktifitas amar ma’ruf nahy mungkar dalam spektrum yang lebih luas; yaitu meliputi dakwah bi al-hal (dengan keteladanan prilaku) dan bi al-lisan (pidato, ceramah, dll). Sedangkan keseluruhan aktifitas tersebut bermuara pada upaya untuk merealisasikan dan mewujudkan konsep-konsep Islami dalam segala sektor kehidupan manusia. Dengan demikian diharapkan akan tercapai tujuan akhir semua umat Islam “sa’ad fi al-dinya wa sa’ad fi al-akhirat” yakni kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia, lahir batin, dunia akhirat yang diridloi Allah SWT.
Dalam hal ini kita juga bisa pahami bahwa tidak semua manusia bisa mencapai tujuan akhir tersebut. Oleh karenanya menurut Al-Ghazali, ada empat macam manusia berkaitan dengan pencapaain kualitas hidupnya.
Pertama, Sa’id fi al-dunya wa shaqiy fi al-akhirat (bahagia di dunian dan menderita di akhirat)
Kedua, Shaqiy fi al-dunya wa sa’id fil al-akhirat (menderita di dunia dan bahagia di khirat)
Ketiga, Syaqiy fi al-dunya wa syaqiy fi al-akhirat (menderita di dunia dan menderita di akhirat)
Keempat, sa’id fi al-dunya wa sa’id fi al-akhirat (bahagia di dunia dan bahagia di akhirat)
Oleh karena ini, maka sangat diharuskan adanya keseimbangan antara dakwah bi al-hal dengan dakwah bi al-lisan. Untuk menyebut landasan dari hal tersebut banyak disebutkan di dalam al-qur’an dan hadits nabi.(QS. Al-Saf/61:3, QS. Al-Baqarah/2:4). Keseimbangan antara perbuatan dan perkataan inilah menjadikan perjuangan Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya berhasil sehingga Islam bisa kita rasakan sampai saat ini.
Para da’i mestinya memahami hal tersebut, apalagi dengan perkembangan saat ini banyak tantangan dan sesuatu yang mestinya dilakukan. Dalam konteks dakwah profesional seharusnya dakwah dapat dipahami secara lebih luas. Dakwah bukan hanya sekedar ceramah agama saja, dengan songkok dan sorban dikalungkan, yang dilakukan dengan pidato di atas panggung, ataupun dilayar kaca (TV), datang di acara besar lalu pidato dengan gagah, setelah itu tidak ada koreksi sama sekali. Apakah dakwah semacam ini yang cukup marak dewasa ini dikatakan sebagai dakwah profesioanal...? sebab, bila dilihat dari segi menejemen dakwah jelas belum sesuai, walaupun dakwah semacam ini punya tujuan yang sama.
Dakwah seharusnya dipahami sebagai aktifitas yang melibatkan proses tahawwul wa al-taghayyur (transformasi dan perubahan), yang berarti sangat terkait dengan upaya rekayasa dan perubahan sosial kemasyarakatan. Sasaran utama dakwah adalah terciptanya suatu tatanan sosial yang di dalamnya hidup sekelompok manusia dengan penuh kedamaian, keadilan, keharmonisan di antara keragaman yang ada dan mencerminkan misi Islam sebagai agama ramatan lil a’lamin...
Metode dan proses yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya hendaknya menjadi acuan dasar untuk menjalankan kewajiban kita sebagai khalifah fi al-ardli yang mempunyai tugas untuk menciptakan kesejahteraan dimuka bumi ini. Bukan menjadikan proses dakwah sebagai jalan untuk mendapatkan ketenaran dan kekayaan. Berapa banyak warga miskin disekitar rumah para da’i dengan bangunan yang mentereng. Berapa banyak umat islam yang mati kelaparan sementara da’i-da’inya menikmati makanan dan mobil mewah. Belum lagi kita berbicara berapa banyak da’i yang mengevaluasi dan mengoreksi tingkat keberhasilan dakwah mereka, kalau tidak, berarti bagian dari unsur dakwah telah hilang yakni Efek dan Follow-Up nya.
Ulama’ Ahli hikmah juga mengatakan bahwa “Lisanul al-hal afshah min lisannil maqal” maksudnya adalah bahwa berdakwah dengan keteladanan sikap lebih mengena pada sasaran dari pada hanya sekedar berpidato atau ceramah. Masyarakat kita sekarang ini butuh bukti bukan hanya sekedar orasi. Oleh karena itu konsep Al-Tawazzun (kesimbangan) dalam menjalankan proses dakwah adalah hal yang tidak bisa di tawar-tawar. Perbuatan dan perkataan haruslah selaras dan seirama, se iya dan se kata.

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah