Dicari, Kader yang Mewakafkan Diri

Oleh: Imam Sofyan Al-Ghazali

“Jika aku dapat membangkitkan rakyat dengan darahku, aku akan membiarkan darahku mengalir hingga kering. Jika dengan memberikan hidupku rakyat akan bangkit dengan senang aku menuju kematianku”
(anak-anak langit)

Perhelatan Dirasah II sudah dimulai. Pengurus Iksass se-nusantara berbondong-bondong untuk membentuk panitia kegiatan tersebut. Dengan berbekal pengalaman yang matang tiap-tiap pengurus Iksass nusantara tentu menginginkan kegiatan yang ideal dan administratif. Mereka menyadari bahwa bagus dan tidaknya seorang kader ditentukan dalam kegiatan yang berada di bawah naungan koordinator kaderisasi iksass tersebut ini.

Tentu mereka memimpikan seorang kader yang berkarakter, karakter sosial dan karakter intelektual dan organisatoris agar kelak di masyarakat nanti lulusan pelatihan Dirasah II siap tanding dan tangguh. Karakter sosial yang dimaksud di sini kader yang mewakafkan hidupnya untuk masyarakat atau teori Manusia Baru yang diperkenalkan seorang revolusioner Ernesto Che Guevara “Bagaimana manusia bekerja bukan untuk dirinya dan memikirkan uang, tetapi untuk kepentingan orang banyak”.

Dirasah II adalah kegiatan yang dikemas dalam bentuk pelatihan dengan materi yang berbeda diantaranya analisa wacana, analisa sosial, negosiasi, kepemimpinan dll memang untuk materi yang ada ini terlalu membumbung tinggi disebabkan kader Iksass saat ini mayoritas SLTP dan SMA tetapi itu semua hanya dalam rangka berta’aruf.

Hemat penulis mewujudkan seorang kader yang berkarakter sosial, intelektual dan organisatoris masih dirasa sulit tetapi bukan berarti hal yang mustahil ada beberapa komponen yang mesti dijadikan pedoman pada tiap-tiap pengurus Iksass se-nusantara.

Pertama adanya tindak lanjut dari kegiatan Dirasah II. Sungguh sebuah usaha yang sia-sia jika pelatihan yang kita canangkan dengan matang hilang dalam sekejap tak berbekas. Untuk menutup kemungkinan hal yang demikian perlu adanya sebuah tidak lanjut pasca pelatihan tersebut dengan membentuk Koordinator Rencana Tindak Lanjut (RTL) Dirasah II dengan memilih peserta terbaiknya.

Kedua Segmentasi garapan target group. Diakui atau tidak dari sekian banyak peserta dirasah II tidak semua pikiran dan potensi yang dimilikinya sama. Tentu ada yang berpotensi menjadi sastrawan politisasi dan muballigh. Disinilah peran aktif seorang Koordinator Rencana Tindak Lanjut Dirasah II untuk membuat semacam perkumpulan-perkumpulan. Penulis ambil contoh di tubuh ke-Pengurusan Rayon Iksass Bali selain memiliki sanggar seni, Iksass Bali juga membentuk ikatan muballigh Bali yang disingkat “IMBI”. Jadi kader yang di anggap sudah mumpuni dalam bidangnya tersebut akan di delegasikan kepada Iksass pusat semacam Sanggar Seni Cermin dan Adiss (Aliansi Da’i Salafiyah-Syafi’iyah ) sistem kaderisasi inilah dengan penulis dinamakan Pengkaderan Akomodatif.

Ketiga intensif. Dengan ini intensitas pengurus Iksass dan koordinator Rencana Tindak Lanjut (RTL) menjadi penunjang atas terlahirnya seorang kader yang berkarakter social. Bagaimana pengurus iksass akan selalu all out untuk me-monitoring kadernya. Dengan demikian tugas utama iksass sebagai organisasi kader adalah mencetak kader yang berkualitas. Karena menurut penulis kader berkualitas bisa melakukan apa saja dan dimana saja. Sehingga bila proses pencetakan kader ini dilakukan konstribusi iksass sungguh luar biasa, sudah seyogyananya iksass memikirkan kualitas tetapi kuantitas karena iksass bukanlah organisasi massa yang dituntut untuk mencari anggota sebanyak banyaknya tanpa pola kaderisasi yang jelas. Maka dalam hal ini Iksass harus tegas menentukan pilihan untuk menisbatkan dirinya sebagai organisasi kader.

Akhir kalam Hasta La Victoria Siempre (Berjuang Menuju Kemenangan Slamanya).


(penulis adalah Dewan Pakar Rayon Iksass Bali)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah