Cerita dari Negeri Matahari Terbenam (II)

Fiqh Maliki Sudah Mendarahdaging



Fiqh Maliki memang telah melembaga secara kultural dan formal di negeri ini. Masyarakat hidup sehari-hari dengan Fiqh Maliki. Identitas keberagamaan orang Maroko bisa disebut sebagai: berfiqh Maliki, bertashawuf Junaid al-Bagdadi dan berakidah Asy’ari. Selain fokus ke Fiqh Malikinya, tidak beda bukan dengan identitas keberagamaan kaum Nahdliyyin di Indonesia?. Secara formal negara mengadopsi Fiqh Maliki sebagai acuan utama dalam fatwa dan pengundangan hukum. Bahkan lebih dari itu, secara intelektual Fiqh Maliki mendapat ekspresi dan eksplorasi yang istimewa.


Di perpustakaan umum Tetouan, aku pernah menemukan dokumentasi berjilid-jilid seminar tentang Qadli Iyadl, salah satu tokoh Madzhab Maliki kebanggaan Maroko. Tesis dan disertasi banyak yang didekasikan untuk mengembangkan fiqh Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga banyak yang bekerja untuk itu. Darul Hadits al-Hassaniyah, lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Rabat, salah satunya didirikan untuk melestarikan dan mengembangkan Fiqh Maliki. Di lobi kampus, kita akan dengan mudah menemukan pajangan karya-karya disertasi para alumnusnya yang sekarang sudah menjadi ulama-ulama terkemuka di Maroko yang bertema detil-detil Fiqh Maliki.


Yang lebih memikat, eksplorasi di wilayah ushul fiqh juga tidak kurang gencar dilakukan. Ilmu Maqashid Syariah yang menemukan bentuk teoritisnya di tangan Syekh Abu Ishaq as-Syathibi juga menjadi daya tarik studi Islam di Maroko. Perhatiannya tidak lagi di tingkat orang per orang, tetapi lembaga. Untuk menyebut orang, Syekh Allal al-Fasi menulis buku “Maqashid as-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha”, Dr. Ahmad ar-Raisuni menulis “Nadzariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam as-Syathibi”, Dr. Abdul Majid as-Shugair menulis “al-Fikr al-Ushuli wa Isykaliyat as-Sulthah al-Ilmiyah fi al-Islam: Qiraah fi Nasy’at Ilm al-Ushul wa Maqashid as-Syari’ah”, dll. Sementara di tingkat lembaga, banyak jurusan S2-S3 yang khusus dibuka untuk mempelajari Maqashid Syariah dengan segala isi dan horizonnya.


Aku kira, menyerap Fiqh Maliki, Ushul dan Qawaid Fiqh-nya saja, tidak selesai hanya dalam waktu enam tahun. Apalagi jika ditambah dengan warisan intelektual Andalusia yang tidak kalah menariknya. Apalagi jika ditambah dengan serapan filsafat Eropa Modern, terutama Filsafat Perancis, yang dilakukan para intelektual Maroko secara berani dan bertanggung jawab. Apalagi jika ditambah dengan eksperimentasi para ulama Maroko di dunia tasawuf amali yang sudah diakui dunia Islam dengan zawiyah-zawiyah-nya (semacam pesantren) yang tersebar di seluruh penjuru negeri.


Dr. Hamid Asysyaq, Dosen dan Ketua Jurusan di Darul Hadits al-Hassaniyah yang suatu saat sempat kami undang berdiskusi di sekretariat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko berpesan agar kami jangan berhenti belajar di Maroko sebelum menangkap mutiara keilmuan ulama-ulama Maroko. Sejauh tangkapanku, Maroko memang memiliki pesona di Ilmu Maqashid, Filsafat Islam warisan Andalusia dan eksperimentasi olah rasa (tasawuf amali) yang dikembangkan para Sufi Maroko. Di sinilah, Aku menemukan jawaban mengapa belajar Islam ke Maroko.

Aku rasa, kalau AMCI (Agence Marocaine de Cooperation Internationale), lembaga di Kementerian Luar Negeri yang mengurus mahasiswa asing di Maroko, tetap memberi jatah sekitar 15 beasiswa per tahun untuk mahasiswa Indonesia yang hendak melanjutkan studi ke Maroko, cerita baru dari Negeri Matahari Terbenam ini akan semakin ramai di dunia intelektual Islam Indonesia.(Dedy W. Sanusi)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah