Perfeksionisme Kaum Bersarung


Oleh: Sholehuddin

Penting kiranya bagi para santri dan santriwati memahami identitasnya sendiri sehingga mereka bisa menempatkan diri ditempat yang sebenarnya. Santri yang berniat mengabdi dan mencari barokah dari para kiai, ulama' dan pesantren, merupakan sosok yang harus sepenuhnya bisa menjaga muru’ah identitasnya, pesantren, dan nama besar kiai atau para gurunya.

Selain itu santri juga orang yang dependabilitas sebagai penyebar perfeksionisme yang baik bagi masyarakat yang masih terpinggirkan dengan bekal yang telah diterimanya sewaktu masih nyantri di pesantren. Dengan bekal itu tentu sudah mencukupi baginya untuk terjun ke masyarakat dan masyarakat pun akan menyambut bahkan menanti–nanti kedatangan sosok yang selama ini menjadi harapan perubahan. Akan tetapi anggapan itu akan cenderung berubah bahkan menjadi sebuah anggapan yang tidak baik dan tidak sesuai dengan apa yang sebelum–sebelumnya dipamorkan dari seorang santri. Kenyataan yang berbalik, ketika harapan itu tidak terpenuhi dan tidak ditunjukkan dalam aplikasi wujud nyata oleh santri, dan semuanya terbukti dari banyaknya alumnus dari beberapa pesantren ketika mereka pulang ke kampung halamannya yang justru menunjukkan kebiasaan yang buruk melebihi kebiasaan orang yang tidak nyantri serta memperlihatkan bahwa dirinya juga tidak mempunyai kemampuan dan gugup dalam menghadapi problem yang ada dalam masyarakat.

Terasingkan dari khalayak umum dan hanya berkutak serta bergaul dengan para teman sesama santri dalam komplek yang dikelilingi tembok tinggi, hanya pengasahan otak dan intelektualistas dengan dicekoki teori-teori dari keilmuan tanpa ada aplikasi langsung kelapangan yang menjadikan para santri yang nantinya telah pulang kemasyarakat justru berbalik minder atau canggung menghadapi masyarakat luas, itu semua yang menyebabkan santri gagal dalam dakwahnya dikampung halaman.

Dengan demikian masyarakat akan menilai dan memperbandingkan antara santri dengan yang bukan santri tidak ada bedanya, asumsi tentang santri yang selama ini begitu diagung-agungkan bak manusia yang telah berhasil dalam meditasinya untuk menjadi malaikat makhluk suci yang juga bisa diandalkan dapat merubah masyarakat jauh lebih baik lagi.

Tetapi harapan itu akan terwujud menjadi harapan yang bernilai tinggi ketika metode dalam pengajaran dalam pesantren juga menunjang serta diselipkan metode pendekatan dan aplikasi wujud nyata dari teori yang telah didapat, system pengajaran terhadap santri untuk bergaul dengan masyarakat luas dan bahkan melatih santri untuk bisa memberikan jalan keluar bagi problem masyarakat terutama dalam bidang amaliyah dan hukum. Keberhasilan akan terlihat ketika masyarakat mau mengikuti terhadap apa yang menjadi kebiasaan dan talenta dari santri.

Kebenaran dari pendapat suatu pendapat adalah belajar teori tidak cukup tetapi dibutuhkan juga pembelajaran aplikasi dari teori tersebut dan hal itu akan didapat dari pengalaman terjun langsung, karena dari pengalaman itu pembelajaran mental, psikis dan kepercayaan diri akan didapat. Untuk itu perlu adanya bumbu didalam metode pendidikan pesantren sebagai penunjang para santri agar siap menghadapi masyarakat dan persoalan yang akan dihadapi. Teori hanya pengantar atau mukaddimah dari sebuah aplikasi, santri akan bertanya–tanya seperti apa aplikasinya ketika mereka telah dicekoki teori dari keilmuan yang membutuhkan pengaplikasian yang sebenarnya. Itu semua diperlukan pengalaman praktek sehingga mereka dapat memberikan contoh kepada masyarakat nantinya.

Kebanyakan ketika hanya teori yang didapat, khususnya para santri yang terpenjara dalam komplek pesantren akan merasa canggung untuk mengaplikasikan keilmuannya, perasan takut salah, takut tidak diterima atau takut menggurui akan terus menghantui. Masyarakat tidak akan melihat dia anak siapa tetapi yang akan dilihat adalah status sebelumnya yaitu status “ Santri “, walaupun nyantrinya hanya sebentar dan juga yang menjadi sorotan adalah nama besar dari Pondok Pesantren serta kharisma Sang Kiai, tentunya yang mempunyai tugas untuk menjaga muru’ah atau nama baik Pesantren dan nama baik Kiainya (pendiri dan pengasuh pesantren) tiada lain dan tiada bukan adalah tugas santri ketika pulang kemasyarakat, serta yang mempunyai kewajiban untuk membesarkan pesantren juga tugas dari santri (ketika menjadi alumnus), mempromosikan dengan contoh kepribadian dan sepak terjang pribadi santri itu sendiri ditengah – tengah masyarakat.

Dengan demikian pondok pesantren dapat dikatakan sebagai lembaga yang telah siap melahirkan lulusan yang berkualitas serta memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif, sedangkan santri yang telah pulang kekampung halamannya tidak lagi berpikir tidak siap dan tidak sanggup untuk menjadi tumpuan masyarakat nantinya.

* Pustakawan IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo.

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah