L a m i s

Oleh : Shaleh Az-Zahra

Lamis adalah istilah dari bahasa Madura untuk orang yang suka minta-minta. Termasuk perbuatan lamis adalah mengintip atau mondar-mandir di depan orang yang sedang makan dan semacamnya dengan maksud agar ditawari atau diberi makanan yang ada. Lamis pada biasanya dilakukan oleh anak-anak kecil yang masih belum baligh dan belum sempurna akalnya, orang-orang miskin dan orang-orang bodoh/idiot, namun kenyataannya hal ini seringkali kita saksikan di sekitar kita, lamis tidak lagi dimonopoli oleh mereka melainkan juga dilakukan oleh orang-orang dewasa, orang-orang yang ekonominya berkecukupan dan orang-orang yang berpendidikan, hanya cara dan gayanya saja yang berbeda.

Bagi orang-orang yang terbiasa berbuat lamis, maka akan selalu mengintip dan memanfaatkan milik orang lain daripada miliknya sendiri. Rokok umpamanya, mereka lebih suka merokok milik orang lain daripada miliknya sendiri yang selalu tersimpan rapi di sakunya dengan dalih dalam rangka pengiritan atau mengurangi anggaran rumah tangga (pribadinya). Dalam sebuah organisasi ketika mareka hendak mengadakan kegiatan, mereka lebih suka meminta sumbangan dengan membuat project proposal dan semacamnya padahal anggarannya sudah ada dan cukup. Mereka melakukan itu semua karena lamis sudah menjadi tabiat dan menjadi kenikmatan tersendiri. Apabila perbuatan lamis ini dilakukan oleh santri maka sungguh sangat bertentangan dengan dawuh luhur al-marhum al-maghfurlah KHR. As’ad Syamsul Arifin yang dalam sebuah kesempatan pernah mewanti-wanti santrinya agar tidak melakukan perbuatan lamis.

Lamis adalah termasuk al-akhlaqul madzmuumah (perbuatan/tingkah laku yang tercela), karena disamping menghinakan diri juga mencoreng arang di mukanya sendiri. Nabi kita, Nabi Muhammad SAW. menganjurkan kita agar membiasakan diri untuk tidak bermental pengemis. Dalam sebuah hadits diceritakan, ada seorang laki-laki dari golongan Anshar datang menghadap Nabi. Dia mengiba agar Nabi memberinya sesuatu untuk dibuat makan. Beliau bertanya, “memangnya, kamu tidak mempunyai sesuatu di rumah?”. Laki-laki tersebut menjawab, “tentu saja ada, wahai Rasulallah. Di rumah saya mempunyai sehelai kain yang sebagian saya pakai dan sebagian yang lain saya hamparkan serta sebuah ember/gelas besar tempat saya minum”. Nabi kemudian menyuruhnya pulang untuk mengambil dan membawa barang-barang itu kepada beliau. Lalu, laki-laki tersebut segera beranjak pulang untuk mengambil dan membawa barang-barangnya kepada Nabi. Kemudian Nabi menawarkan barang-barang tersebut kepada orang-orang yang ada di sekitar beliau. Seorang laki-laki menawar, “saya sanggup dengan harga satu dirham”. Nabi menawarkan lagi kepada yang lain, “siapa yang akan menambah lebih dari satu dirham?”. Laki-laki lain menawar, “aku berani dengan harga dua dirham”. Nabi kemudian memberikan dua barang tersebut kepada penawar terakhir dan mengambil dua dirham itu, lalu memberikannya kepada laki-laki Anshar tersebut, seraya bersabda : “belikan makanan dengan salah satu dari dua dirham ini, lalu berikan kepada keluargamu, dan yang satu dirham kamu belikan sebuah kapak kemudian bawalah kapak itu kepadaku.” Laki-laki Anshar tersebut kemudian bergegas melakukan semua yang diperintahkan oleh Nabi dan segera menyerahkan kapak yang baru dibelinya kepada Nabi. Setelah itu, Nabi memberikan pegangan kapaknya, lalu bersabda : “pergi dan carilah kayu bakar, kemudian juallah. Aku tidak ingin melihatmu selama lima belas hari kedepan”. Setelah mengerjakan perintah Nabi selama lima belas hari, datanglah laki-laki Anshar itu dengan membawa sepuluh dirham, kemudian membeli makanan dengan sebagian dari uang itu. Nabi bersabda : “ini lebih baik daripada kamu suka meminta-minta, karena hal itu hanya akan menjadikan noda di wajahmu pada hari kiamat kelak”.

Buah hikmah yang dapat kita petik dari hadits Nabi tersebut adalah : pertama, bahwa lamis dapat melemahkan kegigihan kita menghadapi hidup ini. Kedua, bahwa lamis akan membentuk jiwa kita kerdil, mudah merengek-rengek dan cengeng, sebuah sifat yang sulit bagi seseorang untuk dapat hidup mandiri. Ketiga, isilah perut kita dari hasil keringat kita sendiri dengan tidak berbuat lamis.

Selanjutnya, beranikah kita mulai hari ini, tidak lagi berbuat lamis?! Mudah-mudahan rasa malu itu masih menggelayut dan setia menemani kita karena malu adalah termasuk sebagian dari iman. Wallahu a’lam.

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah