Hasil Rekomendasi Mubes VIII Iksass (1)


RUU Nikah Sirri Harus Dipahami Secara Konprehensif

RUU tentang ancaman pidana bagi pelaku nikah sirri, harus dikaji lebih mendalam, seksama, dan dilihat dari beberapa aspek. Tidak semua pelaku nikah sirri bermaksud lari dari tanggung jawab, akan tetapi karena persoalan teknis atau karena kondisi ekonomi. Seperti rumit dan ruwetnya prosedur pencatatan nikah dan mahalnya biaya mengurus pencatatan nikah. Di samping itu, RUU tersebut perlu disosialisasikan terlabih dahulu sebelum ditetapkan menjadi undang-undang.

Demikian salah satu pokok-pokok pikiran dan rekomendasi Mubes VIII Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafi’iyah (Iksass) di Pondok Pesantren Darul Hikmah Kranjingan Sumbersari Jember, 27 Februari – 1 Maret 2010.

Menyikapi RUU nikah sirri, tidak boleh secara parsial tapi harus memperhatikan kondisi masyarakat dan kesiapan pemerintah itu sendiri. Pemerintah harus mempermudah dalam melakukan pencatatan nikah dan menggratiskan proses pengurusan akte nikah. Begitu pula, perzinahan harus diperketat dan disanksi terlebih dahulu sebelum menerapkan ancaman pidana bagi pelaku nikah sirri. Kemudian orang yang melakukan nikah sirri hendaknya ditindak secara bertahap.

Pada saat pengarahan kepada peserta Mubes, wakil pengasuh bidang ilmiah, KH. Drs. Afifuddin Muhajir, M. Ag berpendapat bahwa nikah sirri yang dimaksud di dalam kitab kuning dan RUU nikah sirri tersebut berbeda. Dalam RUU tersebut nikah sirri yaitu nikah yang tidak dicatat di KUA atau kantor catatan sipil. Sedangkan di dalam kitab kuning terjadi beberapa pendapat.

Menurut kalangan Hanfiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang dimaksud nikah sirri adalah suatu pernikahan yang tidak melibatkan wali dan dua orang saksi. “Dengan demikian, suatu pernikahan yang dihadiri wali dan dua orang saksi --sekalipun tidak dicatat di KUA atau kantor pencatatan sipil-- maka pernikahan tersebut bukan dikatakan nikah sirri,” imbuhnya.

Dalam penelusuran Kiai Afif, Imam Malik memberikan dua penafsiran tentang nikah sirri. Pertama, suatu pernikahan yang wali, saksi, dan dua mempelai bersepakat menyembunyikan perkawinannya. Kedua, perkawinan yang wali dan dua mempelai sepakat merahasiakannya. Dengan demikian, pernikahan yang sengaja dirahasiakan, sekalipun telah dihadiri dua saksi dan wali, maka perkawinan itu disebut nikah sirri. “Jadi nikah sirri dalam perspektif kitab kuning, tidak ada kaitannya dengan masalah pencatatan,” ujarnya.

Menurut pengamatan Kiai Afif, pertimbangan untuk mencatatkan nikah di KUA atau kantor pencatatan sipil untuk menolak mafsadah dan mendatangkan maslahat. Yaitu untuk melindungi hak perempuan dan anak, mengokohkan tanggung jawab suami, dan sebagai pembuktian hubungan nasab dan waris.

Aturan negara yang mewajibkan mencatat akad nikah, secara implisit, menurut Kiai Afif, sesungguhnya merupakan aturan pelarangan nikah sirri. Kemudian, bolehkah negara melalui hukum positif (qanun wadl’iy) mewajibkan sesuatu yang menurut hukum syar’iy tidak wajib; seperti nikah sirri? Menurut Kiai Afif, boleh jika regulasi itu mengandung maslahat. “Maslahat semacam ini dalam istilah ushul fiqh disebut maslahah mursalah,” imbuhnya.

Lalu, bolehkah negara melarang sesuatu yang menurut hukum syar’iy tidak dilarang seperti nikah sirri? Menurut Kiai Afif, boleh jika sesuatu itu mendatangkan mafsadah (kerusakan). Bahkan negara wajib melarangnya apabila diyakini atau diduga kuat akan mendatangkan kerusakan. Dalam ushul fiqh, hal ini disebut saddu al-dzara’ah.

Namun demikian, hemat Kiai Afif, tidak semua nikah sirri berpotensi mendatangkan mafsadah. Para pelaku nikah sirri, tidak semuanya karena lari dari tanggung jawab. Misalnya karena persoalan teknis dan keadaan ekonomi mereka yang tidak mampu membayar administrasi pencatatan pernikahan. (sah)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah