Maling

Oleh: M. Hilmy Hidayatullah
“Maleng! Maleng! Maleng!” kiai sepuh teriak maling di suatu sore menjelang maghrib.
Memang, sejak beberapa hari yang lalu, kiai sepuh selalu teriak maling. Padahal rumah beliau aman-aman saja. Beberapa kali Lora Rahman, putra kiai sepuh, menyuruh beberapa santri dalem memeriksa barang yang hilang. Tapi hasilnya nihil. Bahkan tanpa sepengetahuan kiai sepuh dan santrinya Lora Hasan mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada ayah beliau itu. Kadang-kadang Lora Hasan mengintip, mengendus, dan menyelidiki rumahnya. Tidak ada seorang pun yang mencurigakan masuk ke rumahnya. Tak mungkin ada maling! Lalu sesaat kemudian,
“Maleng! Maleng! Bedhe maleng se detengnga.” kiai sepuh teriak maling lagi.
*

“Beremma abah, Fit?”
“Hmmhhhh…,” Fitri hanya melepaskan nafasnya yang berat. “Kule bi’ empian pera’ bisa adu’a bhei, Kak. Mandhere Abah dhuli sehat,”
Lora Hasan melihat wajah abahnya yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Dia teringat kembali ketika abahnya mengaji kitab Ta’lim Al-Muta’allim sebulan lalu. Namun penyakit yang mulai mengisi hari-hari beliau memaksa beliau berhenti menginjak lantai mushalla lagi.
“Ala laa tanalul ‘ilma illa bi sittatin…”
Kata-kata itu masih belum hilang dari ingatan Lora Hasan. Sebulan lalu ia rasa setahun lamanya. Lora Hasan sangat merindukan suara abahnya yang penuh kharisma. Begitu pula para santrinya yang mulai resah seiring berkurangnya kesehatan kiai sepuh.
Semula sakit yang diderita kiai sepuh adalah sakit kepala biasa. Tapi semakin hari penyakit beliau semakin parah. Beberapa hari ini beliau sering mengigau tentang maling. Bahkan kadang beliau juga teriak dan teriakan itu sampai ke kamarku yang berjarak kurang lebih 20 meter dari kediaman kiai sepuh.
Setiap malam para santri diminta mengaji di pendopo, berharap semoga kiai sepuh lekas sembuh. Lora Hasan juga meminta tolong kepada beberapa santri senior untuk berjaga-jaga, takut-takut kalau maling itu benar-benar datang. Tapi hasilnya nihil. Walaupun setiap malam para santri lembur menjaga pendopo, tapi mereka tak sekali pun melihat batang hidung maling itu.
Malam itu adalah malam yang mencekam buatku. Malam gelap tak ada cahaya. Hanya ditemani lampu strongking yang berdansa diterpa angin, seakan dia berbisik di telingaku untuk tetap membuka mata. Aku pun berusaha untuk tak memejamkan mataku sebab beberapa temanku yang juga punya giliran jaga sudah tak kuat menahan kantuk yang menggelayuti matanya. Padahal kami telah bertekad tidak akan memejamkan mata kami sebelum kami menangkap maling itu hidup-hidup. ‘Sekali melangkah, pantang menyerah!’ begitu tekad kami. Tapi tampaknya malam yang dingin dan sepi telah mematahkan tekad kami itu.
“Maleng!! Maleng!!”
Aku terperanjat bukan kepalang dan dengan spontan aku membangunkan Haris, Samsul, Saiful, dan beberapa temanku yang lain.
“Ada maling! Ada maling!” aku berteriak.
“Mana malingnya? Mana malingnya?” Tanya Saiful setengah tak sadar.
“Di dalam!” kataku. Sebenarnya aku tak tahu di mana malingnya. Karena sedari tadi aku tak melihat tanda-tanda adanya maling.
Setelah masuk kamar kiai sepuh, aku tak menemukan siapa pun kecuali Lora Hasan dan Ning Fitri yang menenangkan abahnya itu. Aku dan para santri lainnya berusaha mengatur nafas yang tersengal-sengal.
“Malingnya di mana, Lora?” Tanya Saiful dengan mata menyisir seisi ruangan. Tapi Lora Hasan tak menjawab pertanyaan Saiful. Beliau hanya menatapnya.
“San…” suara kiai sepuh agak serak.
“Engghi, Bah?”
“Ambe’eghi ye. Are jumat ria bhekal bedhe maleng rajeh maso’a ka pasantren ria,”
“Engghi,” Lora Hasan hanya mengangguk-angguk. Beliau yakin kalau abahnya itu hanya menceracau.
“Zakki bile abelie?” tanya kiai sepuh lagi.
“Korang oning, Bah,”
“Pasantren ta’ nemmu aman. Dimma ra, Zakki ma’ tak dhulli mule?”
Lora Muzakki. Aku masih ingat ketika iring-iringan air mata keluarga dhalem mengantar anak sulung kiai sepuh itu hingga pintu gerbang. Ketika itu Nyai sepuh masih selalu berdo’a untuk beliau. Semenjak kepergian Lora Muzakki, kiai sepuh dirawat putra keduanya, Lora Hasan dan menantunya, Ning Fitri.
Memang agak lama beliau berada di pondok Syekh Kholil Bangkalan. Wajar kalau kiai sepuh selalu menanyakan beliau belakangan ini. Mungkin kiai sepuh mulai merasakan sesuatu akan segera terjadi. Begitu lama beliau tak kembali ke desanya. Bahkan ketika Lora Hasan menikah dengan Ning Fitri sekali pun.

*

Aku baru saja selesai mencuci di sungai dekat pesantren. Hari itu adalah hari Jumat. Hari di mana semua kegiatan belajar sedang libur. Buru-buru aku menuju kamar. Ingin sekali aku merebahkan badanku. Rasanya beribu ton pemberat telah menggelayuti mataku semenjak dari selesai mencuci tadi.
“Assalamualaikum,” sapaku pada beberapa temanku yang sedang asyik ngobrol sambil beristirahat di serambi kamar.
“Waalaikum salam,” jawab mereka hampir bersamaan. Mereka membuat lingkaran diskusi dan sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang sangat serius.
“Sebenarnya kiai sepuh sakit apa sih?” seseorang melanjutkan pembicaraannya setelah terpotong dengan salamku tadi.
“Wah, aku juga ga’ tahu,” jawab yang lain.
“Nah, kamu coba saja tanya sama Rizal. Dia kan sering ronda di pendopo,”
“Zal!?” Rozi memanggilku setengah berteriak.
“Ya?” sahutku.
“Ke sini sebentar,”
Aku terburu-buru menuju ke serambi kamar.
“Kiai sepuh sakit apa sih?”
“Wah, saya juga ga’ tahu. Tapi kata Lora Hasan, sakit beliau sudah agak…”
“Agak apa, Zal?” tanya Rozi penasaran.
“Entahlah,” kataku sambil menaikkan bahu.
“Katanya beliau sering mengigau tentang maling ya?” tanya yang lain.
Aku mengangguk.
“Kau pernah melihat maling itu?”
Aku menggeleng.
“Jangan-jangan…”
“Ah, gak baik su’udz dzon lho…”
Tiba-tiba terdengar gaduh di pintu gerbang. Banyak santri yang berbondong-bondong datang ke sana. Tiba-tiba terdengar iring-iringan Shalawat Badar.
“Thala’al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’, wajabas syukru ‘alaina, mada’a lillahi daa’…,” suara santri sahut-sahutan bergantian.
Aku dan para santri lainnya yang sejak tadi asyik berbicara penasaran. Dengan cepat kami melompat dari serambi kamar dan langsung pergi menuju pintu gerbang, mencari tahu apa yang terjadi.
Setelah aku berdesak-desak dengan tubuh kecut para santri, aku melihat Lora Muzakki tersenyum dipeluk para santri. Tak henti-hentinya beliau diserang pertanyaan.
“Bagaimana Madura, Kiai?”
“Kiai, dapat ilmu apa saja dari Syekh Kholil Bangkalan?”
“Kiai sudah pasti menguras ilmu di Madura sana, kan? Ajari kami, Kiai,”
Lora Muzakki hanya tersenyum penuh penuh kharisma.
“Eh, pertanyaannya nanti saja. Kiai baru datang. Beliau pasti sangat lelah. Biarkan beliau istirahat dulu,” kata santri senior lainnya.
“Ya, benar, benar,” sahut yang lain.
Kami mengiringi beliau masuk pesantren yang sudah lama beliau tinggalkan itu. Dan tak jauh dari pintu gerbang, aku melihat kiai sepuh dibopong Lora Hasan datang dari jauh dengan lari yang dipaksakan.
“Maleng!!! Maleng!!! Tangkep malengnga!! Tangkep!!” Kiai sepuh berteriak histeris. Kami tak mengerti dawuh beliau. Tak mungkin kami menangkap Lora Muzakki yang baru saja datang dari Madura. Kami tak punya cukup bukti untuk Menuduh Lora Muzakki sebagai pencuri. Tapi kiai sepuh…, ah, kami bingung!
“Abah,” Lora Muzakki berlari, memeluk abahnya. Kiai sepuh membalas pelukan itu hingga air mata beliau jatuh bercucuran. Begitu juga Lora Muzakki.
Aneh.
Kami tak mengerti.
*

Keesokan harinya, kurasakan seluruh alam menampakkan wajahnya yang muram. Tangis pun pecah tak bisa terhalangi. Suara pendopo kiai sepuh gaduh dengan suara bacaan al-Qur’an bercampur suara tangis.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Allah telah memanggil beliau.
Segalanya langsung dipersiapkan. Liang langsung digali. Pendopo pun sudah dikerumuni para santri. Setelah selesai dikafani dan dishalati, kiai sepuh siap dimakamkan.
Selesai pemakaman, para santri dipersilakan ke pendopo untuk minum teh dan beristirahat sejanak.
Keesokan harinya, tema maling menjadi tema yang paling hangat dibahas di semua tempat berkumpul. Maling yang diteriakkan kiai sepuh sehari sebelum beliau meninggal mampu menyihir para santri dalam rasa penasaran yang besar. Maling itu menjadi teka-teki yang seakan-akan harus dipecahkan.
“Menurutmu, apa yang dimaksud kiai sepuh dengan kata-kata ‘Maling’ itu, Din?” kata Saiful pada pada Samsuddin di suatu siang sebelum shalat Dzuhur.
“Entahlah, kok bisa ya, kiai sepuh menuduh Lora Muzakki sebagi maling?” kata Samsuddin sambil mengusap keringat yang mengalir di dahinya.
“Iya ya. Padahal kiai kan memeluk Lora, tapi kenapa kiai menuduh beliau maling?”
“Apa jangan-jangan Lora Muzakki jadi maling ya, selama beliau di Madura?” Yusuf menimpali.
“Ah, ngaco’ kamu!” kataku.
“Lho! Siapa tahu, kan!” Yusuf tetap ngotot.
“Atau jangan-jangan Lora Muzakki itu adalah pencuri ilmu selama beliau di Madura,” kata Saiful lagi.
“Maksudnya?” aku bertanya pada Saiful tak mengerti.
“Maksudnya beliau sudah banyak menguasai ilmu agama,”
“Tapi kenapa kiai sepuh meneriakinya maling dari sebelum Lora Muzakki datang hingga kedatangan beliau?”
“Jangan-jangan…,”
“Beliau berdua wali!!!” kataku dan Samsuddin hampir bersamaan.
“Yah, mungkin.” Saiful menambahkan. “Hanya saja belilau nggak mau kalau kedoknya terbongkar,”
Diskusi kami siang itu tak berlangsung lama. Adzan segera menghentikan pembicaraan kami. Walaupun kami dapat kesimpulannya, tapi kami tahu kalau kesimpulan itu belum tentu benar. Dan sebenarnya otakkku masih menyimpan pertanyaan besar tentang maling yang dimaksud kiai sepuh. Namun aku merahasiakannya. Biarlah ini menjadi pertanyaanku sendiri. Dan sebenarnya lagi, aku yakin kalau teman-temanku juga merasakan hal yang sama denganku.

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah