
Banyak Penghafal Al-Qur’an, Gak Pakai Isrof
Belajar Islam di Maroko? Kedengarannya memang agak aneh. “Kenapa pilih Maroko?”, tanya heran seorang kawan sesama calon penerima beasiswa S2 Timur Tengah ketika kami berkumpul untuk pelatihan di Jakarta paruh akhir 2000. Sekenanya Aku bilang, “Aku mau belajar filsafat dan Bahasa Perancis”.
Pilihan belajar Islam di Maroko memang tidak selazim Mesir atau Arab Saudi. Yang terakhir ini adalah kiblat intelektual ulama Nusantara abad ke-17 s/d 19. Tentu dengan mudah kita bisa menyebut Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Arsyad Banjar dan seterusnya sebagai nama-nama besar ulama Nusantara jebolan tanah Hijaz. Akhir abad ke-19, posisi sentral ini mulai bergeser ke Cairo. Pelajar Islam Nusantara mulai banyak belajar ke Universitas al-Azhar Mesir. Bahkan hingga saat ini, jumlah pelajar Islam Indonesia di Mesir tetap yang terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Timur Tengah.
Namun Maroko adalah cerita baru. Perhatian para pelajar Islam kini mulai sedikit bergeser ke barat. Ya, ke Maroko. Islam di negeri ini menawarkan banyak hal berbeda dan segar dari apa yang biasa kita temui di Indonesia, Saudi Arabia atau Mesir.
Aku betul-betul seperti memasuki kawasan “Islam yang lain” begitu mulai bersentuhan dengan dunia keagamaan di Maroko. Adzan Maroko. Dengan lagu sederhana dan pendek-pendek, panggilan shalat ini terasa aneh di telinga, tetapi asyik setelah menikmatinya. Mungkin, persis seperti makan buah Zaitun yang pertama kali terasa menyengat tetapi tidak bisa melepasnya setelah kita ketagihan. Kami sering tertawa sendiri ketika ada yang mencoba menirukan adzan Maroko ini.
Bacaan Qur’annya juga sangat khas. Bacaan Qur’an riwayat Imam Warsy yang dipakai di Maroko menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Pesona bacaan ini akan terasa begitu lepas shalat Magrib. Di seluruh masjid di Maroko, setiap bakda shalat Magrib ada lingkaran-lingkaran semaan al-Qur’an oleh para imam dan jamaah masjid untuk mengulang hafalan al-Qur’an mereka. Karena saking banyaknya, fenomena para penghafal Qur’an menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini.
Kembali aku teringat pesan Pak Tolchah Hasan. “Pelajari Fiqh Maliki-nya!”. Kita memang bisa melihat live penerapan Fiqh Maliki di negeri ini. Pernah aku diteriaki orang di sebuah masjid karena swar-swer saja memakai air untuk wudlu gaya Fiqh Syafii. Mereka hanya wudlu dengan seember kecil air. Setiap mengusap anggota wudlu, mereka akan kembali mencelupkan tangan ke ember kecil tersebut. Cara wudlu yang betul-betul ideal bagi masjid yang mahal membayar air dan dipakai banyak jamaah. Hemat dan praktis. Yang asyik tentu saja di musim dingin. Di sebelah tempat imam selalu tersedia batu untuk tayammum. Mereka banyak tayamum di musim dingin, khususnya untuk shalat shubuh.
Aku juga sering kaget bercampur takut saat melihat anjing-anjing besar bersama tuannya bebas melenggang di tempat-tempat umum. O ya, bukankah anjing tidak najis menurut Fiqh Maliki?. Anjing menjadi sangat bersahabat dengan orang Maroko. Sambil tersenyum, mereka akan bilang, “ma tkhfsy” (jangan takut!), jika melihat kita agak ragu untuk berpapasan saat mereka berjalan membawa anjing-anjing mereka. Aku ngeri juga dekat-dekat anjing yang segede-gede anak kerbau itu!(Dedy W. Sanusi)
Artikel Terkait:
Liputan Khusus
- Sukorejo Nyatakan Mufaroqoh dengan PBNU
- Menjalin Komunikasi Merupakan Kunci Sukses Alumni
- Sukorejo Akan Gelar Konser Religi
- Dibutuhkan Buku Kurikulum tentang Sejarah Kiai As’ad
- Kiai Fawaid Minta Alumni Nulis Sejarah Pesantren
- NU Jadi Contoh Demokrasi
- BEM IAI Ibrahimy Hadiri Even BEM Nasional
- Hasil Rekomendasi Mubes VIII Iksass (1)
- • Menengok Program Center of Excellence IAII (Bag. II)
- • Menengok Program Center of Excellence IAII (Bag. I)
- Menengok Sekolah Deklamasi Iksass
- Cerita dari Negeri Matahari Terbenam (II)
- Kenangan Gus Dur di Sukorejo
- Impian Sebuah Museum Pesantren
- Wabup Situbondo Resmikan Apotik Santri Farma