Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Ibrahimy

Oleh : Arief Rahman*

Ketika kami silaturrahmi kebeberapa alumni mahasiswa Ibrahimy, tanpa diminta biasanya mereka seketika menceritakan pengalamannya pada waktu menjadi mahasiswa. “ketika saya menjadi mahasiswa, saya membuat kelompok belajar bersama untuk mendiskusikan issu-issu publik yang sedang hangat di bicarakan masyarakat, kajian kitab kuning, dan lain-lain. Selain itu kami aktif meresensi buku-buku terbaru yang kemudian di kirim ke-Jawa Pos, Kompas dan media cetak lain. Dengan seperti itu kami bisa memutus mata rantai ketergantungan secara ekonomi kepada orang tua. Kemudian di organisasi kampus, kami aktif menggelar kegiatan seminar tingkat nasional, pelatikan kaderisasi, menghadiri forum-forum besar yang dihadiri seluruh mahasiswa Se-Nusantara dan orang-orang birokrasi pemerintahan”. Begitulah para alumni dengan apik menceritakan pengalaman dan kreatifitasnya ketika menjadi mahasiswa.
Jika hari ini kita melihat peran para alumni mahasiswa Ibrahimy sudah bisa mewarnai diberbagai sektor kehidupan, berarti tidak salah apa yang di ceritakan, kalau mahasiswa dulu memang serius belajar dan berproses di organisasi kampus.
Lalu kemudian pertanyaannya adalah apakah mahasiswa sekarang telah berbuat seperti yang dilakukan mahassiswa dulu?. pertanyaan inilah yang selama ini menjadi kegelisahan dan keprihatinan penulis. Diskusi dipojok-pojok kampus yang seharusnya menggelegar kini nyaris tidak terdengar lagi. Kemampuan membaca kitab kuning sejatrinya tidak diragukan lagi karena merupakan salah satu kompetensi pesantren, namun apa yang terjadi? Separuh lebih mahasiswa saat ini tidak bisa membaca kitab kuning. Organisasi kampus yang dalam hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kini berada dalam kondisi stagnan dengan kata lain la yahya wala yamud. kenapa penulis katakana begitu, yang mestinya BEM selalu menunjukkan taringnya sebagai organisasi yang memiliki dualisme fungsi yaitu sebagai organisasi kader dan organisasi gerakan, tentu yang dilakukan adalah membentuk kader-kader handal yang siap menggantikan estafet kepemimpinan masa depan, selain itu adalah sikap respek dan aksi nyata tentunya sangat dinanti-nantikan oleh masyaraka. Akan tetapi yang terjadi justru saat ini lumpuh takberdaya di bawah keganasan dan cengkraman system.
Penulis memahami kondisi mahasiswa saat ini. Betapa sulitnya untuk melakukan pengembangan wawasan pengalaman dan kreatifitas seperti yang dilakukan mahasiswa dulu. Mahasiswa saat ini lebih memilih gaya hidup hidonis daripada akademis lebih-lebih idealis. Yang nampak pada wajah mereka adalah sikap murung, jenuh, lesu takberdaya dan boncahan frusrasi seperti yang dirasakan teman-teman semester akhir.
Menurut hemat kami, ada banyak sebab mengapa mahasiswa hari ini berbeda dengan mahasiswa dulu. Pertama adalah hilangnya semangat dan himmah untuk belajar dan berproses lebih seriusan lagi. Kedua adalah bahwa mereka kurang siap menerima perubahan terutama konstalasi lingkungan yang kurang bersahabat, akibat dari ketidak siapannya eksptesi yang tampak adalah keputus asaan. Ketiga adalah wawasan pengetahuan dan pengalaman yang masih tingkat lokal (Dusun Sukorejo yang terletak di tengah-tengah hutan belantara).
Dalam bingkai semangat perjuangan, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki dan membenahi semangat kita untuk merubah srtategi proses pembelajaran yang lebih baik lagi. Diskusi di pojok-pojok kampus bagaimana di galakkan yang kemudian menjadi preoritas dari waktu yang kita miliki, karena diskusi adalah identitas dari idealisme setiap mahasiswa. Label mahasiswa sebagai agien of change sejatinya berbanding lurus dengan bukti nyata. Organisasi kampus yang dalam hal ini adalah Badan Eksekutif Mahasiswa bagaimana lebih profesional dalam menyampaikan aspirasi mahasiswa dan melaksanakan fungsinya sebagaimana yang di amanatkan Undang-Undang Keluarga Besar Mahasiswa Ibrahimy (UUKBMI). Tantangan dan ancaman pastinya akan mengiringi setiap langkah perjuangan kita. Tapi yang paling penting adalah bagaimana itu menjadi peluang untuk menumbuhkan militansi kita terhadap organisasi.
Akhirul kalam, sejelek-jelek orang adalah ketika dalam kondisi gagal tapi tidak pernah berusaha keluar dari kegagalan. “Allah tidak akan merubah keadaan seseorang sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”.


Penulis adalah Presiden BEMI
Institut Agama Islam Ibrahimy

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah