Doktrin yang Tak Mendidik (Refleksi Pasca Pilbup Situbondo)

Oleh: Ihsan Basri

Adalah suatu hal yang wajar, apabila sampai pada hari ini umat Islam di Situbondo masih bertengkar mempermasalahkan status Pemilukada yang dihelat 22 Juni lalu. Dalam proses pemilukada tersebut memang ditengarai banyak kecurangan dan design persaingan tidak sehat yang mencederai dan melukai keabsahan keberlangsungan Pemilukada .
Dari berbagai kalangan menjustifikasi bahwa kebenaran adalah mutlak milik kelompok dan golongan masing-masing, diluar itu salah dan sesat. Tapi yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah melakukan skala perbandingan sehingga menemukan titik ketimpangan dari golongan-golongan yang merasa benar. Karena dunia ini selalu dihuni oleh dua dimensi kekuatan hitam dan putih. Salah dan benar. Jahat dan baik.
Masyarakat pasti bertanya-tanya, lalu sampai seberapa jauh Situbondo akan dibawa kepada pertarungan panjang yang melelahkan ini? Haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita? Sehingga kita harus menjadi bulanan semata mencemari kesucian roh, dan mencampakkan kebenaran dengan cara doktrin pembelaan diri? Diberbagai tempat, masyarakat kita memang masih sangat patnerlistik, tapi di tempat yang lain cara berpikir masyarakat sudah mengalami perubahan dari pola pikir bersifat konserfativisme menuju rasionalisme. Hai ini disebabkan karena tingkat pendidikan masyarakat sudah mengalami kemajuan, sehingga sesuatu yang bersifat supra rasional dan sulit dijangkau akan ditolak.
Pendewasaan politik terhadap masyarakat tidak selayaknya dilakukan dengan cara anarkis apalagi dengan menyodorkan janji akhirat, dimana tidak satupun insan di bumi Situbondo ini mengetauhi terhadap warna surga beserta gemerlap keindahannya secara empirik. Penulis bukan tidak mau percaya gaib dan kemungkinan, tapi penulis hanya ingin mencoba mengklarifikasi melalui jalan syariat, bukan thorikat. Sehingga untuk mengidentifikasi salah dan benar adalah aturan norma atau hukum syariat. Jabatan bukanlah tujuan, melainkan sarana. Oleh karena jabatan merupakan sarana, maka pergunakanlah dengan baik agar tujuan bisa diraih dengan sempurna. Proses yang mesti dilaluipun harus bersih tanpa noda hitam. Meminjam bahasa KH. Afifuddin Muhajir “jika yang putih benar-benar putih maka yang putih akan menang”.
Jumlah elektabilitas suara bukanlah satu-satunya refrence kemenangan dalam ajang pemilu, karena istilah menang ketika ditarik pada kondisi riil dalam konteks pemilu, maka menang dapat dipahami dalam dua tafsir. Pertama kemenangan yang bersifat substantive. Dan Kedua kemenangan yang bersifat normative. Menang secara normative adalah kemenngan yang mendapatkan elektabilits suara terbanyak dan ditetapkan oleh KPU berdasarkan penghitungan manual. Sementara menang secara substantive adalah kemenangan yang sifatnya hakiki. Ia bisa saja kalah tapi pada esensinya menang.
Dikutip dari fatwa KH. Ach. Fawaid As’ad dalam pertemuan rutin dengan kepala kamar di Aula Putra “Pemilu apapun bagi saya adalah perlombaan, pertandingan. Ada kalah ada menang. Kalian tidak perlu memikirkan saya, apakah saya sedih atau menangis. Saya tidak sedih dan menangis karena kalah dalam pemilihan, melainkan yang saya tangisi adalah karena saya telah merasa kalah dalam membina ummat”.
Menurut beliau, ada banyak bentuk kecurangan dalam peilukada Situbondo, di antaranya adalah tindakan struktural secara massif dilakukan, maraknya money politik dan intervensi pemerintah setempat. Dan yang paling beliau sesalkan adalah Situbondo sebagai kota santri telah terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau materi. Masyarakat mulai berpikir pragmatis dan materialistis. Intervensi itu bisa melalui power sharing (pembagian kekuasaan), finance (keuangan), black mail (ancaman), dan devide at impera (politik pecah belah).
Arah demokrasi di Situbondo sudah mulai hilang. Liberal democracy yang dianut oleh Negara kita tidak dibentengi dengan sistem yang baik. Money politik telah menjadi komsumsi pokok empat tahunan masyarakat. Anehnya, doktrin ukhrawi dengan masuk surga itu disampaikan sambil lalu menjalankan money politik.
Pendek kata, mereka yang melukai dan mencederai keabsahan proses pemilukada berarti hanya menginginkan dan mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara. Sebaliknya mereka yang berani menyuarakan kebenaran berarti menginginkan penataan kehidupan masyarakat lebih bak (better ordering of society).
Perbedaan adalah suatu hal yang wajar, tapi perbedaan seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan.

(Pemimpin Redaksi Majalah Adiras)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah