Tahun Baru Islam, Bagaimana Nasibmu?

Tak terasa tahu-tahu pergantian tahun lagi, tahu-tahu umur kita berkurang lagi dan tentunya kita tak muda lagi. Tidak kita duga, tahu-tahu teman kita tidak mampu berjalan normal lagi, bahkan ada yang dipanggil ilahi. Memang, perjalanan nasib dan panjang pendeknya umur manusia telah ditentukan sejak azali dan merupakan rahasia ilahi.

Hari ini kita masih diberi kesempatan hidup, tetapi siapa tahu besok pagi, siang atau malam kita akan mati. Tahun depan bisa saja kita masih dapat menikmati dengus dan aroma tahun baru dan bisa saja kita hijrah ke alam yang baru, suasana baru dan teman baru, yakni alam kubur. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pada suatu hari putra khalifah Umar bin Khaththab pulang dari sekolah dengan menangis. Ketika ditanya oleh khalifah, si anak menjawab, “Ayahanda, teman-temanku di sekolah menghitung-hitung tambalan bajuku dan mengejekku dengan kata-kata begini, “lihatlah anak khalifah, bajunya tambalan seperti ini.”

Mendengar pengaduan anaknya, hati penguasa yang gagah perkasa ini terenyuh, sebagai seorang ayah wajib baginya menyenangkan dan membahagiakan anaknya, maka timbullah rasa iba dan kasihan dalam hatinya. Kemudian khalifah Umar mengirim sepucuk surat kepada bendahara negara yang isinya minta agar dipinjami uang sebanyak 4 dirham dengan jaminan gajinya bulan depan supaya dipotong.

Bendahara Negara itu mengirim surat jawaban yang isinya begini, “Wahai Khalifah Umar bin Khaththab, adakah engkau dapat memastikan bahwa engkau akan hidup sampai bulan depan? Bagaimana kalau engkau mati sebelum engkau melunasi hutangmu? Apa yang dapat engkau perbuat terhadap hutangmu di hadapan Allah?”

Membaca isi surat dari bendahara negara itu maka khalifah Umar tersungkur seketika dan menangis. Kemudian beliau membelai-belai rambut kepala anaknya dan menciumnya seraya menasihatinya, “Sabarlah wahai anakku, berangkatlah ke sekolah dengan pakaian seragam sekolahmu itu dulu, karena aku tidak dapat memperhitungkan umurku walaupun sejam lagi.”

Begitulah Khalifah Umar bin Khaththab, sosok pemimpin yang jujur, amanah dan sederhana.

Khalifah Umar bin khaththab adalah penggagas dan peletak dasar lahirnya tahun hijriyah sebagai permulaan penanggalan (kalender) Islam yang diambil dari peristiwa hijrahnya Nabi dengan tujuan agar umat Islam dapat mengenang kembali peristiwa hijrahnya Nabi yang didalamnya mengandung keteladanan tentang kehidupan dan perjuangan Nabi dalam rangka mempertahankan kebenaran dan keadilan.

Kini, bagaimana kabarmu, wahai tahun baru Islam…? Masih adakah yang menyambutmu? Masih adakah yang memperingatimu dan merayakanmu? Adakah bapak dan ibu guru yang mengingatkan dan mengajarkan nama-nama bulanmu kepada anak didiknya? Jawabannya tentu masih ada akan tetapi sebagian kecil. Sebagian besar saudara-saudara kita lebih bersyahwat dan bangga menyambut dan merayakan tahun baru masehi. Kita lihat saudara-saudara kita dengan terompet dan kembang apinya betah lama-lama menunggu pukul nol-nol tiba. Laki-laki dan perempuan berbaur menjadi satu, bebas lepas tanpa batas. Mereka melupakan “masalah”nya masing-masing, padahal tindakannya itu justru membawa masalah baru. Dipenghujung tahun mestinya berusaha berakhir baik (husnul khatimah) yang terjadi justru berakhir jelek (su’ul khatimah).

Santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo punya cara sendiri di dalam menyambut dan merayakan tahun baru Islam, yaitu menunggu terbenamnya matahari sampai waktu maghrib tiba (pergantian tanggal dalam Islam dimulai pada saat terbenamnya matahari) di masjid dan mushalla untuk membaca doa akhir tahun dan awal tahun, kemudian mendengarkan ceramah hikmah seputar tahun baru Islam dan keutamaan-keutamaan bulan muharram. Mereka juga menghafalkan nama-nama bulan Islam. Inilah cara menyambut dan merayakan tahun baru yang baik dan bermanfaat. Marilah kita sambut dan rayakan tahun baru ini dengan rasa syukur yang dalam agar perjalanan hidup kita ke depan senantiasa dalam bimbingan dan ridla Allah Azza wa Jalla.

Akhirul kalam, selamat tahun., mudah-mudahan kita dapat hijrah dari kehidupan yang biadab menuju kehidupan yang beradab. Wallahu A’lam.
( Shaleh Az-Zahra)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah