Fiqh Toleransi Berbasis Pesantren


Oleh: Ahmad Mu’takif Billah

Satu abad lamanya pesantren berdiri. Proses berdirinya pesantren merupakan terobosan baru bagi umat Islam di Indonesia. Mengapa tidak, pesantren adalah aktor toleransi yang amat berpotensi untuk merubah umat. Namun sayang sekali, ajaran toleransi di pesantren hanya berkutat pada varian lokal yang sempit, tidak sampai membumi di masyarakat. Sehingga kurang mendapat respon balik dari kalangan masyarakat luar maupun intelektual muda Islam (non-pesantren). Beberapa khazanah klasik (kitab-kitab kuning) telah banyak menawarkan tentang konsep toleransi beragama, kerja sama (muamalah), dan dalam sektor-sektor lainnya. Pendeknya, pesantren madrasah kedamaian, kesopanan, keterbukaan, lapang dada, dan kasih sayang antar sesama.

Di tengah keragaman agama, bahkan sosial, politik dan budaya, toleransi menempati pada kurs yang paling dominan. Sebab pangkal perdamaian dunia tak luput dari sikap bijak antar etnis bangsa, ras, maupun bahasa yang berbeda. Dengan demikian, nilai-nilai toleransi wajib disampaikan secara membumi. Kita sebagai generasi Islam harus mampu mengibarkan panji-panji toleransi apa adanya (tektual/lembaran kitab), tanpa menginterpretasi kepentingan sepihak maupun kelompok tertentu. Jika demikian, barangkali toleransi yang tercermin dalam lembaran-lembaran referensi klasik (kitab tafsir, fiqh klasik) lebih membumi dan terjewantahkan secara sempurna demi terwujudnya agama Islam yang sejati (rahmat lil ‘alamin).

Jika menengok lebih jauh ajaran Islam, Islam adalah agama pertama yang antusias toleransi (al-Samhah) maupun ajakannya yang lurus (al-Hanifah). Kalangan orientalis barat seperti Amerika, Spanyol, Eropa, dan Prancis, Islam diklaim kelompok kafir, padahal tidak. Mereka menyembunyikan referensi-referensi karangan para mujtahid Islam tidak tersebar, agar umat Islam cepat punah. Sebab dalam referensi itu terdapat keotentikan Islam sebagai agama kebenaran sementara ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mereka anut dengan kitab induk taurat, injil dan zabur tergolong pada agama yang tidak benar: mereka iri dengan Islam . Maka sejak itulah, ahli kitab statusnya sebagai golongan kafir (non-muslim) karena Islam datang kemudian. ( QS : 98 : [2] atau baca : al-Iqtshad fi al-I’tiqad)

Sebagai contoh kasus, Rasulullah telah banyak melakukan sikap mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Pernah suatu ketika beliau mempersilahkan kaum kafir untuk mengabdikan dirinya di masjid beliau dengan senang hati dan hati gembira: amat luar biasa ajaran Islam, (baca : Sirah Nabawiyah). Hal ini memberi indikasi bahwa Islam sebenarnya ajaran anti kekerasan, anti teroris, anti diskriminasi, kriminal maupun bentuk kebejatan lainnya. Dari sinilah, kemudian para sahabat menirunya, kemudian pengikut-pengikutnya hingga ajaran tersebut sampai melekat pada kita.

Memang benar, dalam kehidupan sosial intoleransi sangat mudah dilakukan daripada bersikap toleransi. Misalnya dalam kontek ke-Indonesiaan, intoleransi acap kali dihadapkan pada persoalan keragaman beragama, beda paham, keyakinan maupun ajaran. Fenomena yang demikian ini sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Karena negara telah mengaturnya sedemikian detail tentang bagaimana bergaul baik antar umat beragama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing (UUD : 29 : 2). Maka jika demikian bentuknya, kebebasan beragama bisa termaknai luas yakni bisa hidup damai dan sejahtera. Perbedaan tidak selamanya diklaim tidak baik, bilamana kita saling pengertian, saling hormat menghormati antar pemeluk yang satu dengan lainnya. Justru perbedaan akan membawa pada keberuntungan atau rahmat (ikhtilafu ummty rahmatun).

Jika Toleransi (al-Tasamuh) dalam Islam teraplikasi dengan baik niscaya bumi ini bagai taman surga. Islam telah memberikan banyak pemilihan tingkatan tentang toleransi. Antara lain dengan hikmah, mauizhah hasanah dan mujâdalah bil ahsan. Menghadapinya bukan dengan jalan kekerasan, pemaksaan kehendak atau menyakitkan tanpa alasan mendesak. Aturan-aturan itu semuanya bersifat lentur dan dinamis sesuai dengan kondisi. Jika dalam keadaan tidak menyerang maka Islam harus bersikap lemah lembut, berdamai atau bertahan (al-difa’i). Namun jika dalam keadaan terpaksa atau pihak lawan menyerang maka Islam harus ambil alih pada cara hujumiy atau qitaly (berperang). Islam akan memilih baik jika lawannya baik atau berdamai.

Timbulnya kekerasan, sesat menyesatkan, klaim salah dan sebagainya merupakan tindakan bodoh. Mengapa mereka tidak bisa bersikap toleran, atau tidak merusak tatanan kepercayaan orang lain. Al-Qur’an telah menyebutkan “lakum dinukum wa liy yadin” bagimu agamamu, bagiku agamaku” (QS. 109 : 9) . Menurut hemat penulis demikian ini adalah inti toleransi Islam kepada agama-agama lainnya. Kita tidak bisa mengklaim bahwa agama kitalah yang benar, namun dalam hati kita tetap optimis bahwa agama yang benar hanya agama yang lurus dan toleran. Sebagaimana dalam hadist yang artinya “bahwa rasulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat : agama apa yang dicintai Allah ? rasul menjawab : agama yang lurus-toleran (al-Hanifiyyah al-Samhah)”(HR. Ibnu Abi Syaybah dan Bukhari). Kemudian dijelaskan kembali dalam hadist Imam Bukhari bahwa yang dimaksud agama yang lurus-toleran adalah Islam.

Ala kulli hal, Islam selain agama yang lurus juga agama pengusung toleransi yang senantiasa menginginkan perdamaian. Patut dihayati bahwa keragaman adalah kekuatan bagi kita semua. Hidup damai di tengah keragaman berarti juga hidup yang Islami tanpa ada kekerasan ataupun diskriminasi. Hidup toleran bagaikan hidup di taman bunga yang indah yang ditumbuhi berbagai macam aneka warna dan jenis bunga. Tuhan menciptakan keragaman agar kita saling memahami dan mengerti bahwa manusia adalah mahkluk yang sempurna dan tiada alasan apapun untuk merusak kemanusiaan manusia. (baca : Modul Fiqh Tasamuh P3M Jakarta : 2007 : hal, 60).

Dalam al-Qur’an disenyalir “" Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. ".(QS : Surat Hud : 118-119).

Penulis adalah Alumni Ma’had Aly Sukorejo-Situbondo.

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah