Impian Sebuah Museum Pesantren


Kabupaten Situbondo termasuk daerah yang kurang peduli terhadap sejarah masa lalunya. Hari kelahirannya pun, sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Jejak-jejak peninggalan para sesepuh, diabaikan begitu saja. Bahkan sampai sekarang, Situbondo tidak memiliki gedung museum.

Padahal Situbondo sebenarnya cukup kaya akan peninggalan-peninggalan sejarah nenek moyangnya. Warisan tersebut, yang sampai saat ini masih terawat dengan baik, kebanyakan berupa situs-situs relegi. Misalnya, petilasan Syekh Maulana Ishaq (salah seorang penyebar agama Islam) dan Gunung So’onan di Pacaron. Anehnya, pemerintah Kabupaten Situbondo terkesan tutup mata dan membiarkan begitu saja peninggalan-peninggalan benda bersejarah itu.

Sudah sewajarnya digagas sebuah museum, untuk mengenang sejarah masa lampau para sesepuh. Lalu bagaimana untuk membentuk sebuah museum yang sesuai dengan kondisi masyarakat Situbondo? Bagaimana pula agar museum tersebut ramai dikunjungi orang?

Untuk di Kabupaten Situbondo, yang sangat memungkinkan adalah digagas sebuah museum pesantren sebagai proyek percontohan. Mengapa museum pesantren? Karena penduduk Situbondo mayoritas beragama Islam yang amat fanatik. Di setiap kecamatan bertebaran pesantren-pesantren. Pesantren, terutama pesantren yang besar seperti Pondok Pesantren Sukorejo, termasuk tempat yang paling sering dikunjungi masyarakat, dari loper koran sampai presiden. Karena itu, tidak keliru bila motto Kabupaten Situbondo adalah “Kota Santri”.

Nah, dari ribuan pesantren yang bertebaran di Situbondo, maka Pondok Pesantren “Salafiyah Syafi’iyah” Sukorejo, menempati ranking teratas untuk dijadikan proyek percontohan. Baik dari segi historis, kualitas, kuantitas santri dan alumni, maupun kepopulerannya. Apalagi, Pesantren Sukorejo termasuk pesantren yang akan menggagas kawasan wisata relegi.

Kalau kita perhatikan, hampir saban hari Pondok Pesantren Sukorejo ramai dikunjungi ratusan bahkan ribuan orang yang ziarah makam almarhum Kiai Syamsul Arifin dan Kiai As’ad Syamsul Arifin dari belantara nusantara. Para peziarah jumlahnya dua kali lipat ketika malam Jum’at Legi atau momen-momen tertentu seperti Haul Akbar, imtihan, dan maulid nabi.

Sayangnya, peristiwa tersebut belum mampu dioptimalkan menjadi sebuah suguhan wisata relegi yang amat menarik oleh pengurus pesantren dan pemerintah daerah. Ke depan alangkah baiknya dibentuk sebuah meseum sebagai obyek ziarah di samping, makam kiai yang sudah populer itu.

Museum pesantren ini berisi kitab-kitab yang telah dibaca para kiai Sukorejo (seperti Kiai Syamsul, Kiai As’ad, Kiai Dhofier Munawar) atau karya tulis beliau dan kiai-kiai Situbondo lainnya. Begitu pula barang-barang peninggalan yang lain; seperti surban, baju, dan senjata pusaka. Museum tersebut juga berisi barang-barang pesantren, pengurus pesantren, dan santri yang memang layak dimuseumkan. Seperti karya tulis dan hasil karya seni.

Museum pesantren tersebut menjadi tempat yang memotret benda-benda seni budaya peninggalan sesepuh masyarakat Situbondo; dari zaman penyebaran agama Islam sampai sekarang. Bahkan kalau memungkinkan, museum pesantren ini bukan hanya untuk kawasan Situbondo saja tapi juga untuk daerah tapal kuda.

Pemilihan Situbondo sebagai tempat museum pesantren tapal kuda ini, bukan tanpa alasan. Pertama, kalangan pesantren yang tergabung dalam organisasi NU, menemui kembali jati dirinya dan kembali ke khittah melalui Muktamar ke-27 di Pesantren Sukorejo. Kedua, Pesantren Sukorejo sebagai tempat Muktamar Pemikiran Islam di Lingkungan NU yang pertama. Ketiga, Situbondo termasuk pintu gerbang kawasan Indonesia Timur.

Di samping museum pesantren dan makam kiai yang dijadikan kawasan wisata, juga disediakan art shop seumpama toko hasil seni kaligrafi para santri dan hasil kerajinan tangan masyarakat sekitarnya. Art shop tersebut bisa dikelola lewat koperasi pesantren atau masyarakat sekitar yang menjadi binaan pesantren.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan art shop atau pusat pembelanjaan hasil produk daerah dan kerajian tangan ini amat penting. Bukan saja agar kehadiran museum pesantren itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tapi juga agar mereka ikut merasa memiliki dan peduli terhadap kehadiran museum. Apalagi almarhum Kiai As’ad pernah mengatakan, pesantren dan masyarakat itu ibarat ikan dan air; yang kehadiran keduanya saling memberi manfaat. (Syamsul A Hasan)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah