Menristek: Santri Harus Jadi yang Terbaik, Santri Salafiyah Untuk Dunia
Prof.
H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak,
mengharapkan agar para santri menjadi yang terbaik yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi serta bermanfaat bagi umat manusia. Ia sangat
mengharapkan hal itu, karena para santri merupakan pemimpin masa depan dengan
dunia yang sangat dinamis. Ia berharap kepada santri Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo menjadi yang terbaik; sehingga dapat membanggakan Sukorejo. “Santri
Salafiyah Syafi’iyah untuk Indonesia, Santri Salafiyah Syafi’iyah untuk dunia,”
imbuhnya.
Harapan
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) tersebut di
sampaikan kepada ribuan mahasiswa dan pelajar SMA saat memberikan kuliah umum di
Aula Pesantren kemarin. Menristekdikti juga berharap agar santri menjadi orang
yang mengusai ilmu pengetahuan (ilmu fardhu kifayah) dan pintar mengaji
(berorientasi ilmu fardhu ain). “Saya walaupun menjadi menteri tapi juga masih
mengaji,” tuturnya.
Menteri
kelahiran Ngawi, 27 Juni 1960 tersebut merasa sangat terbebani kalau para santri
pendidikannya jauh tertinggal. Mengapa? “Karena saya juga memiliki latar
belakang santri,” katanya.
Karena
itu, ketika pertama kali membuka kuliah umum kemarin, ia bersilaturrahim ke
Pondok Sukorejo karena ingin belajar mengaji. Menristekdikti beberapa kali juga
menyetir nadzam alfiyah. Profesor Nasir, pernah nyantri (Mts) di Pondok
Pesantren Mambaul Ilmu Asy-Syar’y Sarang Rembang Jawa Tengah kemudian
melanjutkan SMA di Pondok Pesantren Al-Ishlah Kediri.
Karena
itu Profesor Nasir sangat peduli kepada kemajuan pendidikan pesantren. Ia juga
berharap agar IAI Ibrahimy secepatnya dapat berubah menjadi universitas. Bahkan
ia “menantang” kepada tim IAII agar dapat memprosesnya paling lama, enam bulan.
Ia juga berjanji akan memberikan beasiswa kepada para mahasiswa Sukorejo yang
bernaung di bawah kementriannya.
Di
samping para civitas akademika Perguruan Tinggi Ibrahimy dan pengurus pesantren,
hadir pada acara kuliah umum tersebut, Saifullah Yusuf (Wakil Gubernur Jawa
Timur), salah satu Dirjen Dikti, anggota DPRD Jatim, ketua DPRD Situbondo, dan
lainnya.
Iksass sebagai Benteng Pesantren Sukorejo
Anggota Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafi’iyah (Iksass) mampu memerankan
diri sebagai benteng yang kokoh untuk Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo Situbondo, terutama ketika menghadapi problematika yang cukup pelik. Misalnya,
ketika Pondok Sukorejo mengalami pergantian kepemimpinan. Anggota Iksasslah
yang mampu menjadi benteng dari serangan-serangan pihak luar sekaligus sanggup memberi
informasi yang jernih dan mencerahkan.
Demikian salah satu rangkuman dari refleksi perjalanan Iksass, tadi
malam di Musholla Gunung Masali Sukorejo. Refleksi tersebut disampaikan oleh
KHR. Ach. Azaim Ibrahimy (Ketua Umum Majelis Syuri PP Iksass), Ust. Muhyiddin
Khotib (mantan Ketua Umum PP Iksass), Lora Ach. Fadlail (Sekretaris Pesantren
Sukorejo), dan Ust. Munif Shaleh (Ketua Umum PP Iksass).
Ketika Kiai Syamsul wafat, di dalam Pondok Sukorejo mengalami “problem
kepemimpinan”. Karena saat itu, Kiai As’ad sebagai Pengasuh Pondok Sukorejo
yang baru, tidak berada di Sukorejo namun berada di Madura. Tapi aktifitas Pondok
Sukorejo tetap berjalan dengan baik. Karena Pondok Sukorejo diback-up oleh
Syaikh Thoha, Kiai Hadori, dan lain-lainnya. “Peran alumni sangat membantu,”
imbuh Kiai Azaim.
Begitu pula, ketika Pondok Sukorejo mengalami pergantian kepemimpinan
dari Kiai As’ad kepada Kiai Fawaid. Sebagian masyarakat mempertanyakan
kemampuan Kiai Fawaid. Namun para alumni Sukorejo mampu membentengi Pondok
Sukorejo dan memberikan informasi yang mencerahkan kepada masyarakat.
Pasca wafat Kiai As’ad, banyak kalangan yang meragukan Kiai Fawaid untuk
memimpin Pesantren Sukorejo. Ia masih sangat muda, sedang yang ia pimpin
tergolong pesantren besar. Keraguan tersebut, juga mengemuka di media massa.
Maklum peristiwa wafatnya Kiai As’ad, menjadi headline pemberitaan media
massa. Pemberitaan tentang Kiai As’ad dan Pesantren Sukorejo menjadi bahan
liputan selama berhari-hari. Kiai As’ad menjadi tokoh nasional, sehingga memenuhi
kreteria untuk selalu diberitakan.
KH. Drs. Hasan Basri, LC, (kala itu Rektor IAI Ibrahimy Sukorejo),
ketika ditanya wartawan menepisnya dengan teori “inseminasi”. Menurutnya, teori
inseminasi atau penyebaran dan pengembangan ini akan cepat menyebar kepada diri
Kiai Fawaid, paling tidak segala potensi kepemimpinannya akan tampak dalam
waktu lima tahun mendatang. Teori inseminasi ini sudah lumrah terjadi pada
kalangan pesantren. Ia mencontohkan, Sayyid Muhammad Alawi, yang menggantikan
abanya ketika masih kecil. Namun kini Sayyid Muhammad Alawi menjadi ulama
besar, karena proses inseminasi (Surabaya Post, 5 April 1991).
Ketika Pondok Sukorejo mengalami pergantian dari Kiai Fawaid ke Kiai
Azaim, Pondok Sukorejo nyaris mengalami peristiwa seperti era Kiai Syamsul ke
Kiai As’ad. Aktifitas Pondok Sukorejo tetap berjalan dengan baik tidak
terganggu. Namun Pondok Sukorejo mendapat serangan dari luar. “Namun Alhamdulillah
berkat dukungan dan benteng dari para alumni, Pondok Sukorejo mampu menghadapi
ujian tersebut dengan baik,” tutu rust. Muhyi.
Sukorejo Nyatakan Mufaroqoh dengan PBNU
KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, menyatakan mufaroqoh (melepaskan diri dari semua tanggung jawab) dan tidak ada keterkaitan dengan kepengurusan NU hasil Muktamar ke-33 NU di alun-alun Jombang. Sikap tegas Kiai Azaim tersebut diputuskan melalui proses yang panjang, setelah melakukan pengkajian yang mendalam secara lahiriyah melalui tim maupun proses batiniyah dengan bertawassul kepada para kiai pendiri NU dan pendiri Pondok Sukorejo.
Pernyataan Kiai Azaim tersebut disampaikan pada acara Halaqah III Napak Tilas Berdirinya NU, “Mengembalikan NU kepada Khittahnya”, di Pondok Sukorejo, kemarin. Halaqah tersebut dihadiri oleh keluarga Pondok Tebuireng, KH. Sholahuddin Wahid; keluarga Pondok Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Yusuf; keluarga KH. Ahmad Siddiq Jember; mantan ketua umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi, serta ratusan peserta pengurus NU dari Jawa, Bali, dan Sumatera.
Terdapat beberapa permasalahan yang diperbincangkan pada halaqah tersebut. Pertama, masalah pengamalan Islam ala NU (khashaish) Aswaja yang keluar dari relnya. Rumusan khashaish NU ini penting, agar masyarakat mengerti khashaish NU yang mengedepankan ketersambungan kepada Rasulullah dan sikap moderat. Khashaish NU tersebut kemudian dirumuskan di Muktamar ke-33 dengan merevisi beberapa draf dari panitia karena dianggap melenceng dari relnya; tapi anehnya NU Online memposting draf bukan keputusan Muktamar. Kemudian NU Online memposting khashaish NU yang baru, hasil muktamar.
Kedua, produk muktamar. Peserta halaqah menganggap, produk muktamar dikatagorikan menjadi dua macam yaitu produk yang masih bermasalah dan tidak bermasalah. Keputusan tidak bermasalah, keputusan selain kepengurusan, misalnya hasil bahtsul masail. Masalah kepengurusan, ada yang bermasalah dari sisi kepribadian (karena dianggap melanggar kode etik NU) dan proses pemilihan, ada pula yang hanya bermasalah dari sisi proses.
Permasalahan dari sisi proses kepengurusan dapat dilihat dari penggunaan sistem ahwa (ahlul halli wal aqdi). Seharusnya, penggunaan sistem ahwa tersebut harus mengacu kepada AD/ART NU. Padahal di AD/ART NU hasil Muktamar Makassar, masih menggunakan pemilihan langsung. Karena itu, kalau ingin menggunakan sistem ahwa harus diubah dulu AD/ART melalui keputusan Muktamar, bukan langsung ditetapkan.
Pada saat itu, KH. Mustofa Bisri (selaku Rais Am) menawarkan solusi pada forum syuriah, “kiai dipilih kiai”. Keputusan tersebut mengandung pengertian Rais Am dipilih oleh beberapa rais syuriah wilayah dan cabang atau para rais syuriah wilayah dan cabang memilih anggota ahwa sebagai perwakilan mereka yang akan menentukan rais am PBNU. Namun kesepakatan ini dilanggar, karena yang ada hanya list nama-nama anggota ahwa yang sudah ditentukan panitia.
Pemilihan ketua umum, oleh peserta halaqah juga dianggap cacat. Diantaranya karena jumlah pemilih tidak mencapai quorum karena muktamirin banyak yang meninggalkan tempat dan ada dugaan pemilih fiktif. Peserta halaqah juga mempermasalahkan profil ketua umum yang kepribadian dan ideologinya melenceng dari NU. Misalnya, beberapa perkataannya dianggap meresahkan warga NU. Menghadapi permasalahan tersebut para peserta sepakat menjunjung tinggi keutuhan NU namun caranya berbeda. Ada peserta yang menghendaki Muktamar ulang; ada peserta yang menempuh jalur hukum karena inilah yang dianggap beradab; dan Pondok Sukorejo menyikapi dengan cara mufaroqoh.
Pernyataan maklumat mufaroqoh selengkapnya demikian: Bismillahirrohmanirrohim Setelah mengamati dengan seksama melalui pengkajian secara lahiriyah dan batiniyah, serta bertawassul kepada para ulama pendiri Nahdlatul Ulama, kami melihat adanya penyimpangan tata cara Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang, 1-6 Agustus 2015 yang kemudian menghasilkan keputusan dan langkah-langkah yang menyimpang pula. Kami, Pengasuh dan keluarga besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo Jawa Timur (tempat diputuskannya khittah NU 1926) tidak dapat ikut mempertanggung jawabkan proses dan hasil Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang, baik kepada ummat nahdliyin maupun kepada Allah SWT . Oleh karena nya kami menyatakan MUFAROQOH (melepaskan diri dari semua tanggung jawab) dan tidak kait mengait antara kami dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hasil Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang. Kami menyerukan kepada para ulama dan warga nahdliyin agar tetap teguh mempertahankan dan menjalankan ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah serta mempertahankannya dari serangan aqidah dan ideologi lain. Demikian Maklumat MUFAROQOH ini kami buat dan telah sesuai dengan amanat Hadratus Syeikh KHR, As’ad Syamsul Arifin.
Selengkapnya...
Pernyataan Kiai Azaim tersebut disampaikan pada acara Halaqah III Napak Tilas Berdirinya NU, “Mengembalikan NU kepada Khittahnya”, di Pondok Sukorejo, kemarin. Halaqah tersebut dihadiri oleh keluarga Pondok Tebuireng, KH. Sholahuddin Wahid; keluarga Pondok Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Yusuf; keluarga KH. Ahmad Siddiq Jember; mantan ketua umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi, serta ratusan peserta pengurus NU dari Jawa, Bali, dan Sumatera.
Terdapat beberapa permasalahan yang diperbincangkan pada halaqah tersebut. Pertama, masalah pengamalan Islam ala NU (khashaish) Aswaja yang keluar dari relnya. Rumusan khashaish NU ini penting, agar masyarakat mengerti khashaish NU yang mengedepankan ketersambungan kepada Rasulullah dan sikap moderat. Khashaish NU tersebut kemudian dirumuskan di Muktamar ke-33 dengan merevisi beberapa draf dari panitia karena dianggap melenceng dari relnya; tapi anehnya NU Online memposting draf bukan keputusan Muktamar. Kemudian NU Online memposting khashaish NU yang baru, hasil muktamar.
Kedua, produk muktamar. Peserta halaqah menganggap, produk muktamar dikatagorikan menjadi dua macam yaitu produk yang masih bermasalah dan tidak bermasalah. Keputusan tidak bermasalah, keputusan selain kepengurusan, misalnya hasil bahtsul masail. Masalah kepengurusan, ada yang bermasalah dari sisi kepribadian (karena dianggap melanggar kode etik NU) dan proses pemilihan, ada pula yang hanya bermasalah dari sisi proses.
Permasalahan dari sisi proses kepengurusan dapat dilihat dari penggunaan sistem ahwa (ahlul halli wal aqdi). Seharusnya, penggunaan sistem ahwa tersebut harus mengacu kepada AD/ART NU. Padahal di AD/ART NU hasil Muktamar Makassar, masih menggunakan pemilihan langsung. Karena itu, kalau ingin menggunakan sistem ahwa harus diubah dulu AD/ART melalui keputusan Muktamar, bukan langsung ditetapkan.
Pada saat itu, KH. Mustofa Bisri (selaku Rais Am) menawarkan solusi pada forum syuriah, “kiai dipilih kiai”. Keputusan tersebut mengandung pengertian Rais Am dipilih oleh beberapa rais syuriah wilayah dan cabang atau para rais syuriah wilayah dan cabang memilih anggota ahwa sebagai perwakilan mereka yang akan menentukan rais am PBNU. Namun kesepakatan ini dilanggar, karena yang ada hanya list nama-nama anggota ahwa yang sudah ditentukan panitia.
Pemilihan ketua umum, oleh peserta halaqah juga dianggap cacat. Diantaranya karena jumlah pemilih tidak mencapai quorum karena muktamirin banyak yang meninggalkan tempat dan ada dugaan pemilih fiktif. Peserta halaqah juga mempermasalahkan profil ketua umum yang kepribadian dan ideologinya melenceng dari NU. Misalnya, beberapa perkataannya dianggap meresahkan warga NU. Menghadapi permasalahan tersebut para peserta sepakat menjunjung tinggi keutuhan NU namun caranya berbeda. Ada peserta yang menghendaki Muktamar ulang; ada peserta yang menempuh jalur hukum karena inilah yang dianggap beradab; dan Pondok Sukorejo menyikapi dengan cara mufaroqoh.
Pernyataan maklumat mufaroqoh selengkapnya demikian: Bismillahirrohmanirrohim Setelah mengamati dengan seksama melalui pengkajian secara lahiriyah dan batiniyah, serta bertawassul kepada para ulama pendiri Nahdlatul Ulama, kami melihat adanya penyimpangan tata cara Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang, 1-6 Agustus 2015 yang kemudian menghasilkan keputusan dan langkah-langkah yang menyimpang pula. Kami, Pengasuh dan keluarga besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo Jawa Timur (tempat diputuskannya khittah NU 1926) tidak dapat ikut mempertanggung jawabkan proses dan hasil Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang, baik kepada ummat nahdliyin maupun kepada Allah SWT . Oleh karena nya kami menyatakan MUFAROQOH (melepaskan diri dari semua tanggung jawab) dan tidak kait mengait antara kami dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hasil Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang. Kami menyerukan kepada para ulama dan warga nahdliyin agar tetap teguh mempertahankan dan menjalankan ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah serta mempertahankannya dari serangan aqidah dan ideologi lain. Demikian Maklumat MUFAROQOH ini kami buat dan telah sesuai dengan amanat Hadratus Syeikh KHR, As’ad Syamsul Arifin.
Label:
Liputan Khusus
Sukorejo - Ash-Shofwah Siapkan Kader Aswaja
Label:
Pesantren Kita
Bahtsul Masa’il, Bahas Polemik Antarsekte
Label:
Pesantren Kita
Bidang Pendidikan Gelar Festival Lomba Sains
Dalam rangka menyambut Haul atas wafatnya para pendiri dan pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, maka sejak tanggal 23 hingga 26 Maret 2013 Bidang Pendidikan Pondok Pesantren melakasanakan festival lomba yang bertajuk “Arena Semarak Ma’had”. Festival ini diikuti oleh seluruh lembaga pendidikan setingkat MI/SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang berada dibawah naungan yayasan PP Salafiyah Syafi’yah Sukorejo. “Kegiatan ini dimaksudkan untuk membangun ukhwah islamiyah antara pondok pesantren dengan lembaga cabang dan lembaga pendidikan yang dikelola oleh alumni se-kresidenan Besuki,” terang Drs. H. Mudzakkir A. Fattah, kepala bidang pendidikan.
Ada lima jenis kategori yang diperlombakan meliputi: Lomba Sains SD/MI; Lomba Sains SMP/MTs; Lomba Sains Fisika; Lomba Ibnu Aqil; Lomba Desain Grafis. ”Perlombaan ini kita bagi menjadi tiga tahap; tahap penyisihan, tahap semifinal dan final,” ujar L. Supratman, S.Ag, selaku sekretaris panitia.
L. Supratman mengatakan, hadiah untuk para pemenang dari berbagai kategori itu diberikan ketika perayaan haul para pendiri dan pengasuh pada tanggal 29 maret 2013. “Saya kira para peserta akan lebih termotivasi untuk mengeluarkan kemampuannya, karena pemberian hadiahnya disaksikan oleh ribuan orang yang hadir pada acara haul nanti,” pangkasnya.
Tampil sebagai juara disetiap ketegori perlomabaan tersebut adalah Anis Mahdi utusan SMK Panji pada kategori lomba desain grafis, Teguh Widodo delegasi dari MI Islamiyah Wongsorejo untuk kategori lomba sains tingkat SD/MI, Ainun Hasna utusan SMP 3 Ibrahimy Sukorejo pada lomba sains tingkat SMP/MTs, Fauziyah utusan SMA Ibrahimy Sukorejo pada lomba Sains tingkat SMA/MA sementara untuk kategori lomba ibnu aqil, juara 1 digondol oleh Ahmad Yusuf utusan MA Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Selain itu, kegiatan perlombaan ini juga dinilai sebagai salah satu upaya untuk membangun nuansa keilmuan yang mampu menumbuhkan motivasi dan semangat belajar dan bersaing dalam diri santri “Barangkali, inilah implementasi dari ayat al-qur’an fastabiq al khairat” terang Musthafa, MHI. yang hadir sebagai juri dikategori lomba Ibnu Aqil. (rud)
3.jpg)
Selengkapnya...
3.jpg)
Label:
Pesantren Kita
Seluruh Santri Ngaji Bab ‘Adab Al Jum’ah
Hari Jum’at merupakan hari teristimewa menurut keyakinan orang Islam. Beberapa waktu yang lalu (24/03) ba’da sholat maghrib atas instruksi pengasuh secara serentak seluruh kepala kamar baik asrama pusat maupun cabang wajib menyampaikan materi mengenai ‘adabul jum’at yang telah dirangkum oleh pengurus pesantren. “Pengajian ini untuk menindaklanjuti himbauan pengasuh agar santri menghormati datangnya hari Jum’at serta memahaami keutamaan-keutamaannya,” tandas Ustadz Jali, kepala Daerah Sunan Kali Jogo.
Materi tersebut meliputi serangkaian perbuatan yang dianjurkan dan diwajibkan pada hari Jum’at seperti halnya membersihkan anggota tubuh, memotong kuku, dan menggunakan pakaian terbaik dan berwarna putih demi menghadiri pelaksanaan sholat jum’at. “Materi yang disampaikan banyak bersumber dari kitab fathul qorib fi targhib wa at tarhib karya Sayyid Muhammad Alawai Almaliki Al Hahasani” ujar Abd. Khalik, Kepala Kamar F. 07.
Diharapkan, dari pengajian ‘adabul jum’at ini nantinya para santri mampu memahami sunnah-sunnah nabawi yang dianjurkan untuk dilakukan pada hari Jum’at guna memaknai ibadah Jum’at sebagai sebuah kemuliaan dan keagungan di mata Tuhan. “Semoga para santri bisa memahami sakralnya ibadah Jum’at,” terang Moh. Yasin, Kepala Daerah Sunan Maulana Malik Ibrahim. (rud)
Selengkapnya...
Label:
Pesantren Kita
Langganan:
Postingan (Atom)