Jangan Pikirkan Jabatan

”Mekkir e otek, dzikker e ate, pesse e kapeng, korse e tongkeng”

Demikian salah satu ucapan Kiai As’ad yang artinya, ”Berpikir tempatnya di otak, berdzikir tempatnya di hati, uang tempatnya di saku, dan kedudukan (kursi) tempatnya di pantat,” Kiai As’ad sangat wanti-wanti terhadap masalah kedudukan dan jabatan. Jabatan jangan terlalu kau “letakkan” dalam pikiran atau hati.
Pesan Kiai As’ad tersebut mengingatkan kita terhadap kisah Syaqiq. Konon, Khalifah Harun Al Rasyid pernah tersedu-sedu, ketika diberi nasihat Syaqiq. “Seandainya Anda nyaris mati kehausan di tengah padang pasir, lalu ada seseorang yang menawarkan seteguk air dan akan memberikan kepada Anda seharga separuh kerajaan Anda, apakah Anda mau menerima tawarannya itu?” tanya Syaqiq.
“Aku akan menerima tawaran itu,” jawab Harun.
“Kemudian andaikan pula, air yang telah Anda minum itu tidak dapat keluar dari dalam tubuh Anda dan Anda terancam binasa, lalu ada seseorang yang menawarkan bantuan: ‘Anda akan saya sembuhkan, tetapi serahkan setengah kerajaan Anda’. Apa jawaban Anda?”
“Akan aku terima tawaran itu,” jawab Harun.
“Oleh karena itu, mengapa Anda membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang Anda minum dan Anda keluarkan kembali?” kata Syaqiq. (syamsul a hasan)
Selengkapnya...

Kurikulum IAII Mendatang Memiliki “Citarasa” Fiqh


Kompetensi mahasiswa IAI Ibrahimy Sukorejo mendatang, bukan hanya fasih membaca Al-Qur’an dan pandai membaca kitab kuning, tapi juga harus memiliki keahlian memandang persoalan problematika keummatan dengan perspektif fiqh. Kekhasan masing-masing program studi tetap dipertahankan namun ditambah dengan “citarasa fiqh”. Bentuk “citarasa” fiqh tersebut dengan cara “mengintegrasikan” fiqh ke dalam kurikulum di lingkungan IAII.

Demikian salah satu hasil rekomendasi workshop yang diselenggarakan Program “Center of Exellence” Kajian Fiqh Klasik dan Kontemporer. Kegiatan tersebut hasil kerjasama IAII dengan Ditpertais Kemenag RI. Agar memiliki kemampuan melihat persoalan keummatan dengan perspektif fiqh, maka mahasiswa IAII dibekali dengan beberapa alat. Alat tersebut yaitu matakuliah “Pengantar Fiqh”, “Pengantar Ushul Fiqh”, dan “Qowaidul Fiqh”. Ketiga matakuliah tersebut, bersifat terapan. Sehingga mahasiswa IAII memiliki kemampuan dalam menganalisis dengan perspektif fiqh.

Workshop selama dua hari tersebut, penuh dengan perdebatan, terutama dari Fakultas Tarbiyah dan Dakwah. Sebab kedua fakultas tersebut mengalami kesulitan dalam “mengintegrasikan” fiqh kedalam masing-masing kurikulumnya. Kalau Fakultas Syariah, tidak mengalami hambatan karena hampir 90 persen kurikulumnya bermuatan fiqh. Akhirnya forum sepakat bahwa bentuk “integrasi” tersebut adalah sinergitas atau dengan cara menambah beberapa matakuliah fiqh. Begitu pula, “integritasi” fiqh tersebut tidak akan menyentuh beberapa matakuliah program studi.

Kalau menambah beberapa matakuliah, Fakultas Tarbiyah dan Dakwah mengalami problem, Sebab jumlah SKS perkuliahan sudah mencapai batas atas yaitu, 160 SKS. Fakultas Dakwah mengusulkan, agar matakuliah IAII, misalnya Filsafat Ilmu harus dikonversi dengan matakuliah fiqh tersebut. Alasannya, Filsafat Ilmu terlalu tinggi untuk mahasiswa S1. Usulan Fakultas Dakwah ini didukung oleh Fakultas Syari’ah dan beberapa peserta workshop lainnya.

Bentuk sinergitas tersebut, secara intern, adalah dengan cara mereview silabi yang berkaitan dengan fiqh, terutama muatan materinya. Drs. Munif Shaleh, M.Ag, ketua panitia workshop, berjanji akan mengundang pimpinan dan dosen matakuliah fiqh untuk membahas muatan materi matakuliah fiqh. Dengan cara seperti itu, diharapkan terjadi penyamaan visi tentang matakuliah fiqh yang bersifat terapan tersebut.

Fakultas Dakwah mengusulkan, agar IAII juga mengadakan sinergitas dengan pihak ekstern untuk mendukung program “pribumisasi” fiqh tersebut. Misalnya, dengan lembaga Madrasah Ta’hiliyah Ibrahimy Beberapa mata pelajaran yang berkaitan dengan fiqh di MTI direview kembali agar sinergi dan mendukung program unggulan fiqh klasik dan kontempoter. Sebab mahasiswa IAII mayoritas merangkap di MTI dan embrio kelahiran MTI berasal dari pemikiran dosen IAII. (syamsul a hasan)
Selengkapnya...

P3M Dorong Dosen Lakukan Riset

Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) akan menyemarakkan kajian ilmiah di lingkungan IAI Ibrahimy. P3M secara rutin akan menyelenggarakan diskusi bagi para dosen IAII. Hasil diskusi tersebut kemudian akan dipublikasikan di jurnal Lisanul Hal. P3M juga akan memfasilitasi para dosen IAII yang akan mengadakan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Demikian salah satu kesimpulan dari rapat pengurus P3M, para pimpinan IAII, dan Fakultas malam Selasa kemarin. P3M sebagai ruh dari kegiatan ilmiah di lingkungan IAII dalam waktu dekat ini akan mengadakan rapat dengan para dosen tetap IAII untuk merumuskan lebih lanjut tentang kajian ilmiah tersebut. Sebab kajian ilmiah tersebut termasuk tugas dari Tridharma Perguruan Tinggi. Salah satu kewajiban dosen, terutama yang telah tersertifikasi, adalah menulis di Jurnal. Karena itu P3M akan memfasilitasi karya para dosen dan akan mempublikasikannya di Jurnal Lisanul Hal.
Kegiatan diskusi tersebut merupakan salah satu tawaran untuk mengatasi minimnya naskah yang masuk ke redaksi Lisanul Hal, sebuah jurnal yang dikelola P3M. Dr. Abu Yasid, pemimpin jurnal Lisanul Hal mengemukakan, salah satu alternatif yang lain adalah melakukan resume terhadap karya ilmiah dosen yang lain. Misalnya, tesis dan disertasi. Atau menyunting ulang skripsi yang telah dibimbing para dosen. Tentu dalam sunting ulang tersebut, juga harus mencantumkan nama mahasiswa yang dibimbingnya agar tidak melanggar etika dalam tulis-menulis.
Rapat Selasa malam tersebut merupakan rapat perdana sejak P3M dipimpin Khoriyanto, M.Pd.I. Pembantu Rektor I, Dr. Wawan Juandi berharap dengan adanya ketua P3M yang masih muda, kinerja P3M akan meningkat. (sah)
Selengkapnya...

Kisah Alumni tahun 70-an: SYAKIR DAN JAJAN SOMPIL



Syakir Shonhaji adalah salah satu santri PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo di era 60 an – 70 an. Hampir setiap malam Syakir, bersama Abdus shamad dan Hadari dipanggil kiai As’ad dan disuruh memijat sekujur tubuhnya hingga larut malam. Kata Syakir; pada saat kiai As’ad di pijat kebiasaan beliau mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari tipe recorder.

Syakir sosok anak yang lahir dari desa Sukorejo Bangsalsari Jember, sejak kecil memiliki kesukaan makan jajan sompil. Kalau sudah kepingin dia pasti minta pada orang tuanya. Tangispun kerap menderai berlinang dari air matanya bila jajan tersebut tidak ada dihadapannya.
Kebiasaan ini berlanjut hingga Syakir menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Suatu ketika rasa pingin jajan sompil datang ibarat kerongkongan yang sedang kehausan. Syakir melangkah berjalan di seputar pondok untuk membeli sompil, ternyata tidak ada. Syakir mencari ke Asembagus, disisiri pasar Asembagus juga tidak menemukan penjual jajan sompil. Otomatis karena sudah kadung keluar pondok dia pergi ke kota situbondo. Syakir berputar-putar di kota Situbondo termasuk di pasar mimbaan Situbondo tempat orang berjualan berbagai macam jajan, hari itu tak satupun pedagang yang berjualan jajan sompil. Syakir pun harus pulang ke pondok dengan penuh rasa iba karena jajan yang dicarinya tidak ada.

Pada malam harinya, setelah Shalat magrib, Syakir dipanggil Kiai As’ad. Saat Syakir masuk ke dalem, tiba-tiba kiai As’ad menyuguhkan satu jajan sompil di atas piring yang ukurannya amat besar (tidak seperti ukuran jajan sompil pada biasanya). Kiai As’ad dawuh ; Ayo ka kan, abi’. Ma’le ta’kabiasaan ( Makanlah, habiskan , supaya tidak jadi kebiasaan). Syakir tertegun ; Ya Allah kok kiai tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Seketika itu, Syakir mengambil jajan sompil itu, walau bukan ukuran harus habis, jajan sompil itu dimakan dengan lahap. Setelah makan jajan sompil dari kiai As’ad itu, Syakir tidak punya rasa sangat kepingin lagi pada jajan sompil. Dan sejak makan sompil dari Kiai As’ad itulah hati dan fikiran Syakir seperti terbuka, mudah menangkap dan menghafal mata pelajaran di Pondok.

Dalam benak Syakir terbisit bahwa Sang Maha Guru saya, KHR. As’ad Syamsul Arifin betul betul Mukasyafah, mengetahui terhadap isi hati seseorang. Syakir pun dapat belajar dengan tenang di pondok hingga menjadi salah satu ustadz yang diangkat oleh pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Alhamdulilah berkah barokah Kiai As’ad Syakir pulang ke kampung halamannya Desa Sukorejo Bangsalsari, mengabdikan diri kepada kepentingan umat, berjuang mendirikan Yayasan Pondok Pesantren, dan sampai sekarang masih memangku sebagai pengasuh Pondok pesantren As Syafi’iyah Sukorejo Bangsalsari Jember, dan sehari-hari Syakir sudah dipanggil kiai, yakni KH. Syakir Shonhaji, BA. (Misbahus Salam)
Selengkapnya...

Menjalin Komunikasi Merupakan Kunci Sukses Alumni



“Apapun profesi kalian, kalian harus berdakwah melalui profesi tersebut,” demikian nasihat KHR. Ach. Fawaid As’ad di hadapan ratusan peserta Orientasi Calon Alumni. Peserta orientasi Calon Alumni angkatan pertama tersebut merupakan para wisudawan sarjana D3, S1 dan S2 di lingkungan Perguruan Tinggi Ibrahimy.
Setelah para sarjana tersebut mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah maka ilmunya harus diamalkan di tengah-tengah masyarakat. Kata Kiai Fawaid, ibarat lampu diesel, Pondok Sukorejo merupakan mesinnya sedangkan para santri merupakan lampu-lampu yang menerangi masyarakat dari kegelapan. “Karena itu, lampu-lampu tersebut harus selalu nyambung dengan mesinnya,” imbuh Kiai Fawaid.
Menurut Kiai Fawaid, salah satu kunci sukses seorang santri adalah selalu menjalin komunikasi dan berinteraksi. Setelah santri kembali ke masyarakatnya, hendaknya mereka menjalin komunikasi dengan cara bersilaturrahim kepada guru ngajinya dulu. Di samping itu, mereka juga harus selalu berinteraksi dengan para alumni yang tergabung dalam organisasi Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafi’iyah (Iksass).
Yang tak kalah pentingnya, para santri yang alumni harus juga selalu nyambung dengan Pondok Sukorejo. Menurut Kiai Fawaid, paling tidak, selama setahun alumni harus mendatangi Pondok Sukorejo ketika ada acara haul almarhumain. Sebelum haul, ada kegiatan reuni alumni. Kalau masih tidak sempat juga, para alumni harus mendatangi kegiatan Iksass di daerahnya masing-masing dan ketika acara haul harus mengkhatamkan al-Qur’an dan membaca Surat Al-Ikhlas.
Menurut Kiai Fawaid, acara Orientasi Calon Alumni tersebut gagasannya ada sejak zaman Kiai As’ad. Kiai As’ad mengatakan, santri yang mau berhenti hendaknya melapor ke pengurus untuk diberi pembekalan. Namun, menurut Kiai Fawaid, acara tersebut baru bisa terlaksana saat ini dan dimulai dengan Pembekalan kepada calon wisudawan. Untuk masa mendatang, pembekalan tersebut pesertanya semua santri yang akan menjadi alumni.
Menjalin komunikasi dan selalu berinteraksi yang menjadi kunci sukses alumni tersebut penting diperhatikan oleh para alumni. Apalagi, konon salah satu pesan Kiai As’ad kepada santri yang akan berhenti mondok adalah agar ia mengamalkan ilmunya di mushalla sekitar rumahnya. Salah satu makna di balik pesan itu, santri Sukorejo agar menguasai pusat jaringan dan interaksi di sekitar rumahnya. Sebab masjid atau mushalla di pedesaan merupakan salah satu pusat komunikasi dan tempat berkumpulnya masyarakat. Masjid atau mushalla termasuk medan budaya (cultural sphere) yang mempertemukan berbagai segmen masyarakat, yang dapat menghasilkan budaya yang khas. (syamsul a hasan)
Selengkapnya...

Brosur Santri Baru

Jumlah Pengunjung

Website counter
 

Tamu Pesantren

Mubes Iksass VIII di Jember

Tamu Pesantren

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah