Kenangan Gus Dur di Sukorejo


Siapa di antara tokoh Indonesia yang paling nyentrik? Barangkali semua orang sepakat, dialah KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama sapaan: Gus Dur. Gus Dur memiliki daya tarik untuk dibicarakan dan menyimpan sejuta misteri. Secara guyon, beberapa orang menyebut dirinya sebagai misteri keempat Tuhan; setelah rejeki, jodoh, dan kematian. Sebagai misteri, ia memang penuh teka-teki. Tindak-tanduknya sulit ditebak. Bahkan para pendukungnya --mungkin secara berlebih-lebihan-- menyebut dirinya sebagai “waliyullah”, kekasih Tuhan.

Sebagai “teks Tuhan” yang diliputi sejuta misteri, Gus Dur, memang sangat menarik untuk “dibaca” lalu ditulis. Tidak terhitung lagi, sudah seberapa banyak orang yang telah mencoba “membaca” Gus Dur lalu menorehkannya dalam bentuk buku, skripsi, disertasi, tesis, atau sekadar menyuguhkannya sebagai tulisan populer di beberapa media massa dalam tulisan artikel, feature, dan berita .

Sebagai seorang tokoh dan kiai, Gus Dur kerap berkunjung ke pondok pesantren, termasuk Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Di Sukorejo inilah yang kian melambung nama Gus Dur ke pentas nasional. Sebab beliau terpilih menjadi ketua umum PBNU, saat Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Gus Dur juga sering menghadiri Haul Almarhumain Kiai Syamsul dan Kiai As’ad, pendiri Pondok Sukorejo.
Di antara kunjungan Gus Dur ke Sukorejo tersebut yang menarik bagi saya adalah ketika beliau menghadiri Haul Almarhumain pasca Kiai Fawaid (pengasuh Pondok Sukorejo sekarang) keluar dari PKB. Inilah salah satu akrobat Gus Dur.

Lalu pelajaran apa yang bisa kita petik dari akrobat Gus Dur itu? Pertama, perbedaan politik jangan sampai merusak tatanan persahabatan apalagi tali kekeluargaan. Gus Dur dan Kiai Fawaid dengan baik memerankan hal ini. Misalnya, dalam ceramahnya Gus Dur mencoba mengungkap kembali penggalan-penggalan pengalamannya bersama Kiai As’ad sewaktu Munas dan Muktamar NU di Sukorejo bahkan lebih dari itu, ia mengaku sebagai santri Kiai As’ad. Kiai Fawaid juga mampu menjadi tuan rumah yang baik, padahal beberapa tahun yang lalu ia sempat “berseteru” dengan Gus Dur, gara-gara ia didepak dari Ketua Dewan Syuro DPC PKB Situbondo.

Kalau kita tengok sejarah-sejarah ulama NU, hal yang demikian bukan merupakan barang yang asing lagi. Para kiai pendahulu kita memberikan pelajaran yang amat baik. Umpamanya saja KH. Wahab Hasbullah selalu berbeda pendapat dengan adik iparnya, KH. Bisri Syamsuri. Tapi keduanya, tetap akrab. Sehingga lahirlah jargon, “Kita sepakat untuk tidak sepakat”. Inilah pelajaran demokrasi yang amat berharga.

Sayangnya, sikap yang amat arif dari para kiai terdahulu itu sekarang agak luntur. Hal ini diperparah dengan materi ceramah para jago podium yang terkesan kurang bijak, mencaci, dan “mensetankan” pihak yang berbeda. Akibatnya yang menjadi korban tetap masyarakat bawah yang memang masih awam baik dalam politik maupun agama. Teman saya bilang, kalau para tokoh bertarung pakai otak dan mik tapi pengikutnya yang awam bertarung dengan otot dan clurit.

Pelajaran yang kedua, politik hanyalah “permainan” yang mudah berubah-ubah, baik kawan maupun lawan; yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Oleh karena itu, kita tonton dan nikmati saja akrobat politik beliau-beliau. Atau kita ikuti irama “permainan” politiknya tapi kita pun harus menghargai tindak-tanduk pihak lain yang berbeda dengan pihak kita.

Kunci yang sangat penting untuk membaca Gus Dur menurut Greg Barton, penulis buku “The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” atau “Biografi Gus Dur” adalah selalu mencoba mencari interpretasi di balik sesuatu yang tersirat dari yang tersurat. Sering yang diucapkan Gus Dur bukanlah sesuatu yang dimaksudkan, tapi lebih merupakan apa yang diinginkannya benar. Jangan dilihat apa yang sedang diucapkan, tapi lihatlah apa yang mau dikatakan. Atau dalam perspektif ilmu komunikasi, jangan hanya dilihat dimensi isi (pesan yang disandi secara verbal) tapi lihatlah dimensi hubungan (disandi secara nonverbal). Sebab dimensi hubungan inilah yang menunjukkan bagaimana seharusnya pesan tersebut ditafsirkan. Kunci ini biasanya juga berlaku pada kiai-kiai di kalangan NU, terutama para kiai yang dianggap sudah mencapai derajat kewalian.

Mungkin Anda pernah mendengar beberapa orang yang sering dibikin jengkel dengan statemen Gus Dur yang terkesan ceroboh, kurang teliti, dan menganggap enteng masalah yang sedang dihadapinya (atau barangkali Anda pun pernah menjadi “korban” bidikan Gus Dur?).

Menurut Barton, sebenarnya sikap yang selalu percaya diri itulah sebenarnya potret diri Gus Dur sebagai manusia ekstrovert untuk memompa semangatnya dalam menghadapi tantangan yang benar-benar mengancamnya. Misalnya; menjelang pemilihan ketua umum PBNU pada Muktamar NU di Tasikmalaya, Gus Dur nyaris menjadi seorang pecundang akibat intimidasi dan rekayasa rezim Suharto. Tapi Gus Dur sangat santai, mengabaikan omongan orang lain yang merasa khawatir tentang dirinya yang sedang terancam, dan Gus Dur menepis segala yang merisaukan. Padahal sebenarnya --sebagaimana pengakuan Yenny-- salah seorang putrinya, ia sangat terkejut ketika menyandarkan kepalanya di dada ayahnya. Mengapa? Jantung ayahnya berdetak amat keras!
Dan kini, tokoh yang dikagumi kalangan pesantren tersebut telah wafat. Innalilllahi wa inna ilaihi rajiun. (syamsul a hasan)

Artikel Terkait:

 

Powered by Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah